Judulnya sih agak berat, but i promise ga akan bikin pusing ngebahasnya. Alasan saya menulis artikel ini adalah karena saya sudah ‘gerah’ dengan kelakuan orang-orang sekitar saya di media sosial. Media sosial yang diciptakan untuk mendekatkan yang jauh, kayanya sekarang sudah berubah fungsinya layaknya Buku Harian Elektronik. Disini saya coba membeberkan beberapa ‘dosa’ para pengguna media sosial yang menurut saya sudah tidak sesuai dengan etika bersosialisasi. Check this out.
Saya masih ingat pertama kali saya mengenal sosial media adalah Facebook. Well, siapa yang ga tau Facebook. Mark Zuckerberg yang konon ‘menciptakan’ Facebook kini masuk ke dalam daftar salah satu orang terkaya di dunia karena media sosial yang ia buat dinilai mampu menghubungkan pertemanan yang jauh menjadi lebih dekat. Walaupun pada kenyataannya pertemanan Mark dan partnernya sesama pencipta Facebook, Eduardo Saverin kini tak sebaik dulu.
Oke, saya ga akan ngebahas soal sejarah Facebook atau pertemanannya. Yang ingin saya bahas adalah ‘kelakuan’ para users dari media sosial tersebut. Di indonesia sendiri saat ini meida sosial yang cukup exist masih dipegang Facebook dan Path. Saya sempat pindah dari Facebook ke Path karena menurut saya Path lebih eksklusif dengan waktu itu yang jumlahnya hanya dibatasi pada 50 orang teman saja, walaupun kini sudah lebih banyak kuota jumlah temannya. Saat itu saya berpikir di Facebook teman-teman saya sudah banyak namun saya hanya sebatas tau dan kenal saja namun tidak dekat secara pribadi bahkan tidak pernah bertemu dalam kurun waktu lima tahun belakangan.
Awal-awal sebagai pengguna Facebook saya sangat excited untuk men-share segala sesuatu yang saya lakukan. Mulai dari memposting status ketika bangun tidur, makan, pergi ke mall, bekerja atau bahkan di kamar mandi (?). Facebook kala itu buat saya adalah pengganti diary, saya bisa share apapun dan tentu saja dilihat/dibaca banyak orang (teman-teman saya). Naluri sebagai seorang narsis tentu saja semakin subur, maunya diperhatikan orang, dikomentari statusnya, fotonya, intinya menjadi pusat perhatian.
Lalu memasuki era social media bernama Foursquare. Dimana user bisa check in di tempat yang ia kunjungi/sedang berada saat itu. Bahkan Foursquare memberikan gelar ‘Major‘ untuk user yang paling sering checked in di tempat tersebut. Hmmm, semakin terlihat kan kompetisi berebut gelar ‘fiktif’.
Lalu sekarang era Path dan Instagram (mungkin ada juga yang bila sekarang era SnapChat, well sorry saya ga main snapchat). Path awal tampak beda dengan Facebook. Social media itu menyediakan emoticon-emoticon yang mewakili perasaan si ‘looker‘ (istilah saya buat teman-teman social media yang ngeliat/ngebaca postingan orang) yang melihat isi postingan temannya. Lalu ada fitur movies, books, music, dll yang dulu belum ada di Facebook dan nampaknya kini sudah diadopsi oleh Facebook. Instagram beda lagi, instagram hanya berisi foto-foto si user dan sistemnya pun bukan berteman atau add friend seperti Facebook/Path, tapi Follow. Dimana ketika kita follow sebuah akun di instagram maka kita akan selalu melihat foto-foto postingan mereka di timeline kita. Tidak ada yang namanya posting status di Instagram, semuanya pure Foto/video di instagram.
Alright, we’re back to how i feel about social media. Sebagai pengganti diary saya, saya suka sekali curhat di Facebook. Entah tentang perasaan saya yang lagi, happy, sedih, marah ataupun terganggu karena suatu hal. Hingga suatu saat, si boyf memarahi saya tentang kebiasaan saya ‘curhat’ di media. Dia bilang kalo ber-media sosial itu ada aturannya, harus hati-hati. Kala itu saya masih anggap lalu bahkan marah karena saya merasa dibatasi ‘pergaulan’ saya di media sosial. Tak jarang saya yang masih berteman sama si boyf di Facebook bertengkar karena masing-masing status dan komentar orang lain di status kami. Akhirnya, dengan pertimbangan menghormati privasi masing-masing, kami pun memutuskan pertemanan di media sosial, hingga saat ini. Beberapa teman kami pun heran karena kami tidak terhubung pertemanan di media sosial seperti Facebook maupun Path. Gak jarang mereka bilang kami aneh. Well, tapi percaya atau ga, hubungan kami membaik karena saya merasa ga perlu pusing mikirin komentar temen-temen perempuan si boyf. And we have less fight since then. Tapi saya ga pernah menganjurkan siapa pun mengikuti cara kami, saya dan si boyf sendiri sudah 13 tahun berpacaran dan buat kami trust issue is so yesterday. So, we’re good for not connected by Social Media.
Setelah dimarahi si boyf soal ‘kelakuan’ saya di media sosial, saya masih terus curhat. Sampai pada suatu saat dimana saya merasa kalau yang dikatakan si boyf itu memang benar. Hal itu dibuktikan dengan kerisihan saya membaca status teman-teman saya tentang kehidupan pribadi mereka. Entah kenapa, saya merasa kalau apa yang terjadi pada hidup mereka bukanlah urusan saya (its weird, i know). Saya risih melihat status teman-teman saya yang dengan mudahnya membeberkan apa yang baru saja ia lalui. Seperti bertengkar dengan pacarnya yang bikin dia nulis status berisi makian ke si pacarnya. Atau kerisihan saya melihat foto orang local (indonesian) yang berciuman dengan pacar bulenya. Well, saya mulai berpikir ulang tentang ‘peringatan’si boyf. Apa iya rasa risih yang saya rasakan juga dirasakan teman-teman media sosial saya ketika saya menulis status makian/hinaan ke orang lain? Karena i really not intend to do that. Not in purpose. Atas dasar pemikiran itulah saya mulai membatasi ‘kegiatan’ sosial media saya. Baik di Facebook, twitter, instagram hingga sekarang di Path.
Kutipan diatas saya ambil berdasarkan pengalaman saya. Bukan saya yang mengalami, tapi teman saya. Saya punya teman, sebut saja A, perempuan. Dia punya gebetan, dan gebetannya punya teman perempuan yang pastinya sebagai sesama perempuan akan dianggap sebagai ‘ancaman’ oleh si A. Karena merasa terancam jalannya, pernah saya pergoki ia sedang meng’hack‘ akun media sosial si perempuan ancamannya itu. Woooww, just wow. Dengan mudahnya ia masuk ke akun perempuan lain seakan-akan itu adalah akun pribadinya. Ga cuma sekedar hacking saja, si A pun men’stalking‘ segala kegiatan media sosial perempuan tersebut. I swear it was creepy. Dan saya pun mengerti kenapa si A melakukan itu, selain karena ancaman, juga karena perasaan insecure terhadap dirinya sendiri. Why insecure? I have no idea.
Ini yang banyak dilakukan oleh Social Media Users. Karena mereka merasa bebas berbicara di media sosial makanya mereka pun bisa sembarang bicara. Termasuk memaki, menghina, menyindir, memfitnah, atau apapun ke orang yang mereka benci/tidak suka. Jujur saja, saya pun masih melakukan itu hingga saat ini. Its a bad habit that needs to be annihilated. But why we do that? In my opinion is because we’re too scared to say it directly. Unlike western people yang pikirannya lebih terbuka, orang indonesia masih merasa sungkan untuk menegur atau memarahi secara langsung. Yes, its what coward do to talk behind back. And please, i’m not proud of what i do. So let’s stop it immediately.
Yep, Miley did say that. And i hate everything she did. Miley Cyrus itu adalah lambang kebablasan remaja jaman sekarang. Just google about her and you’ll find out how uncontrolled she is. Yes, semua orang mau merasa bebas, semua orang pengen bisa melakukan apa yang dia mau tanpa dihakimi orang lain. Well, i do get that. Tapi segala sesuatu yang berlebihan ga bagus. Perlu adanya aturan. Begitu juga media sosial. Saya pernah di unfriend oleh seorang ‘teman’ saya di facebook cuma karena saya mengingatkan dia soal statusnya yang menurut saya akan menimbulkan kontroversi. Si pemilik akun bilang ‘ya terserah saya dong, itu kan akun saya. Mau tulis apa terserah saya, kok sis yang atur?’. Kesal? Pasti kesal dong, tapi ya saya ga mau pusing. Dijawabin begitu malah bikin saya ketawa karena itu menjelaskan kepribadiannya yang menurut saya kekanak-kanakan. Sampai si boyf pun membenarkan jawaban ‘teman’ saya itu. Dan akhirnya saya sadar kalau memang saya salah karena ‘mencampuri’ aturan akun pribadi dia. Tapi saya juga seneng sih di unfriend, karena isi status-statusnya dia pun makian dan hinaan ke orang yang bikin dia kesel. Bener-bener merasa kalau dia yang paling benar di dunia ini.
Papa saya pernah bilang ke saya ‘Hak seseorang, dibatasi oleh kewajiban orang lain.’ Jadi hak kita untuk bebas berbicara itu dibatasi oleh kewajiban orang lain untuk menjaga ketertiban supaya statusnya itu tidak jadi masalah. Ada yang negur karena statusmu menghina presiden? Ya bagus yang negur temen, kalo langsung diciduk paspampres kan berabe.
Dan kutipan dari si Miley itu yang membenarkan kelakuan minus para pengguna media sosial. ‘Only God can judge me’ so they can sin in peace. But let me give you this quote:
Yes, memang semua orang bebas memposting apapun di akun pribadi media sosialnya. Mau menghina orang, memaki orang, fitnah orang, you name it apa yang biasa diposting para pengguna sosial media. Ga jarang kita nemuin akun-akun penebar kebencian di Facebook yang menghina sosok petinggi negara atau pemimpin negara/propinsi. But please, apa sih yang di dapat dari postingan itu? Nothing but a sin you gain. Cuma menuh-menuhin catatan dosa aja. Kalimat ‘terserah gw’ dan ‘suka-suka gw’ yang dengan gampangnya keluar dari mulut orang yang tanpa dia sadar itu udah nunjukin kepribadian dia yang egois. Why should i care when people don’t care? Here’s the answer: If not you, then who? Mulailah peduli. Peduli untuk berhenti memposting kalimat makian, hinaan atau ujaran kebencian di akun sosial media. Liat aja kutipan di atas. Free will atau keinginan bebas yang Tuhan kasi ke manusia itu ada artinya. Ga bisa suka-suka.
Poin berikut ini yang saya rasakan sekali dampaknya. Bukan ke saya, tapi orang dekat saya. Teman saya bernama B, istrinya bernama C. Keduanya kini sudah berpisah. Dan kebetulan saya pun kenal dua orang tersebut. Saya orangnya ga suka memihak. And trust me until now i’m still try to be neutral. Menurut saya kedua pihak sama-sama salah. Tapi yang bikin situasi memanas karena pihak C saya liat getol sekali memposting status yang berisi makian ke B yang saya cukup tau apa yang ditulis si C ini all nothing but LIES. Tapi saya ga ada keinginan sedikit pun untuk berkomentar di setiap statusnya. Remember, try to be neutral, okay? Cuma yang bikin saya geregetan itu adalah orang-orang yang berkomentar di status C. Teman, kerabat, kenalan si C. Dan komentar mereka sebagian besar pun ikut memaki si B. What the hell? How come seseorang bisa berkomentar terhadap sesuatu yang belum tentu dia tahu permasalahannya seperti apa?! It’s so stupid! See? Di media sosial pun pemilik akun bisa memutar balikan fakta tanpa ada orang yang tahu seperti apa kebenarannya. How evil is that? Jahat kan? Yang punya akun jahat karena berbohong dan yang komentar pun bodoh karena ikutan komentar membela yang jahat. Mungkin orang-orang beginilah yang bikin penuh akun Facebook.
Banyak kutipan yang isinya ‘daripada bicara jahat, lebih baik diam’. Its true. Jangan terpengaruh dengan status makian, hinaan atau ajakan kebencian dari sebuah akun. Saya ga suka ikutan komentar di akun-akun yang isinya menghina pemimpin ibukota tempat saya tinggal. Its just wasting my time. Kutipan diatas pun saya terapkan di media sosial. Apapun status orang lain atau postingan dia yang bermakna negatif, saya mencoba untuk tidak menghakimi. Kenapa? Karena saya ga tau situasi apa yang dia hadapi. Tiap orang beda-beda cara hadapin masalahnya. Dan menghakimi orang lain melalui komentar di media sosial bukan caranya.
Panjang juga yah tulisan ini. Saya harap melalui tulisan ini ada yang mulai memperbaiki cara ber-media sosial. Stop doing drama in social media. Stop shared your personal life to social media. Kalau mau curhat ya coba tulis di diary, atau ajak temen ngobrol di kafe sambil makan juga bisa kan. Believe me, social media is not a media for all of your emotions. Media sosial ya untuk bersosialisasi. Quote tearkhir yang akan saya berikan:
Its true. So, berpikirlah lagi sebelum memposting sesuatu. Pemerintah indonesia sudah membuat aturan tentang ujaran kebencian (hate speech) bahwa para pelaku yang melakukannyanya di media sosial akan ditindak oleh pihak berwenang. Dan bukan tidak mungkin postingan yang sudah kita posting akan menjadi backfire sebagai bukti ‘kejahatan’ kita. Belum lagi history postingan kita bisa jadi bahan pertimbangan bagi calon perusahaan yang akan meng-hire. Adik teman saya yang seorang psikolog dan HRD memberitahu bahwa perusahaan mencari tahu calon karyawannya dari sosial media. Dan si HRD/psikolog inilah yang akan ‘membaca’ karakter kita berdasarkan postingan kita. Quite risky, huh? Think again.
My last words, just keep your personal life personal. Pilah pilih lagi momen hidup yang ingin dibagikan kepada ‘dunia’. Mau selfie, silakan. Tapi ga semua selfie mesti dibagikan. Mau check in di semua tempat yang dikunjungi, silakan. Asal tau saja, pelaku kejahatan juga bisa pantau kegiatanmu dari sosial media lho. They might be stalking you then attack at the time you’re not expect. Just be wise using the internet, the social media. See ya, soon.
Regards,
FubuFebi