Take care of Mental Health.

Hello, i’m back with new topic. Btw, how you doin’ lately? I hope you well cause i do. Walaupun sedikit flu dan batuk karena pergantian musim, but i’m good.

Pernah ga ketika lagi nongkrong sama temen atau keluarga dekat terus becandaan yang ke topik yang sedikit sensitif atau personal, kemudian ada 1 orang yang merasa tersinggung sampai bikin keadaan jadi awkward? Kemudian ada yang nyeletuk, ‘Yah elah, gitu aja baper’. Atau keadaan lain, saat kita lagi curhat sama sahabat soal kehidupan kita yang lagi down terus sahabat kita ngejawab ‘Lo masih mending, lah gw bla bla bla…” dengan bahasa lain jadi adu nasib. Lalu juga pas kita lagi curhat sama sodara soal kekesalan kita ke orang lain, terus dibilang “Ga boleh gitu, kita ga boleh bales jahat lagi. Mesti doain aja, bla bla bla…”

Read more: Take care of Mental Health.

Saya yakin pasti sebagian besar kita pernah berada diposisi tersebut. Apa yang dirasain? Well, kalo saya sih feels rejected. To be honest, saya ga tau istilah atau sebutannya karena saya bukan psikolog atau psikiater dan ga punya juga background pendidikan kejiwaan. But ada yang bilang kalau itu adalah salah satu bentuk Toxic Positivity. Tapi bukan itu yang mau saya bahas disini. Tahun 2020 adalah tahun yang berat untuk semua manusia di muka bumi. Kita dihantam sama Covid 19. We knew what happened then. Dan tahun tersebut adalah tahun dimana saya menyadari soal kesehatan mental. Momen yang melatarbelakangi adalah karena saya harus berhadapan dan setiap hari hidup berdampingan dengan orang-orang yang rupanya punya dampak besar pada kesehatan mental saya.

Bagaimana tidak berdampak, saya harus berulang kali mendengarkan cerita seorang kerabat saya yang hidupnya lagi berantakan. Berulang-ulang, berkali-kali. Cerita yang sama, angle yang sama. Yang menggambarkan betapa malang hidupnya dan ia adalah orang paling sial di muka bumi ini. Belum lagi saya harus berhadapan dengan kerabat lain dengan karakter yang dominan dan demanding. As a people pleaser, awalnya saya senang memberikan kesan yang baik ke orang lain. Tetapi makin lama kok makin demanding yang bikin saya merasa suffocated dan lelah menghadapi orang tersebut. Kenapa, karena saya sulit sekali bilang ‘tidak’ ke orang yang lebih tua. That’s what makes me feel miserable. And it’s quite exhauting memang menghadapi kedua orang ini buat saya. Sampai akhirnya saya cerita ke suami saya dan dia bilang, ‘mungkin karena itu juga kamu jadi sering uring-uringan’.

The moment i realized that i needed help is the moment i text my best friend and ask her, “Gw butuh psikolog, lo ada kenalan ga?” Luckily, adik dari sahabat saya adalah seorang Psikolog. Dari dia, saya mendapatkan akses untuk ke psikolog tanpa harus keluar rumah, Karena pada saat itu memang angka Covid sedang tinggi. Akhirnya, saya dikenalkan ke seorang Psikolog yang bersedia untuk melakukan konseling dan kami bicara melalui zoom saat itu. Banyak hal yang saya dapatkan setelah sesi konseling tersebut. Ga cuma ngeluarin ‘sampah’ aja, tapi juga memberikan solusi dari apa yang saya rasakan saat itu. And i feel relieved.

Apakah masalah selesai? Absolutely not. Karena kan saya masih terus berhadapan dengan orang-orang ‘toxic’ tersebut. Kenapa saya bilang toxic? Well, karena basically they polluted my mind. Just being with them aja udah lumayan melelahkan secara mental. Ya karena yang mereka keluarkan adalah ‘sampah’ mereka, sedangkan saya dulu ga tau bagaimana menghandle ‘sampah-sampah’ tersebut. It’s kind of rooting and rotted in me emotionally. Itulah yang membuat saya lebih cepat merasa lelah secara fisik, ga cuma mental. Because our mind plays a big part to our body. That’s why pada tahun 2022 lalu saya kembali berkonsultasi secara online dengan psikolog untuk ‘membersihkan sampah’ saya.

Seiring berjalan waktu, saya merasa semakin baik untuk mengelola emosi saya. Not just because i’m getting old so i get wiser. Tapi karena prinsip yang diajarkan Psikolog saya, ‘Just control what you can control.’ Itu adalah kunci dari kehidupan saya. Memang sulit untuk tidak overthing atau worried tentang keadaan atau orang lain. It’s hard karena saya adalah tipikal orang yang suka mengontrol segala sesuatu. And i hate when i can not control something. Well duh, bukannya semua orang seperti itu? Apparently engga. Ada aja orang-orang yang let it flow. But i don’t, i like control and be in control. Guess what, itulah sumber disaster. Dan itu yang mesti dibereskan lebih dahulu dengan prinsip “control what you can control”. Whatever you can not control, don’t even try to. Dan berkali-kali saya harus mengingatkan diri saya untuk melakukan ha ini sebelum saya melakukan langkah selanjutnya. Dan itu yang mengubah hidup saya. Less worry, pasti. Tapi setidaknya, we already do our part dengan mengontrol apa yang bisa kita kontrol. Dan salah satu yang bisa kita kontrol adalah reaksi dari sebuah kejadian/keadaan. Makanya saya belajar untuk berdiam dulu sebentar sebelum memutuskan sesuatu. So, no more impulsive decision based on my actual emotion. And i am so proud of myself.

Salah satu yang dikatakan Psikolog saya adalah, kalau tidak bisa menghilangkan sumber ‘toxic’ ya dihindari aja. Kalau pun harus dihadapi, sehabis itu harus ‘dibuang sampahnya’. Caranya? Find something you love to do. For me? Music is my healer. I find peace dengerin lagu-lagu kesukaan saya. KPop, barat, indonesia, any kind of music i like to hear. It takes time, tapi it cleansed your mind. Supaya ga overthink atau khawatir setelah berinteraksi dengan sumber masalah. Thankfully, suami saya sangat pengertian dan mau mengerti kalau keadaan saya lagi ga bener. Dan dia pun fully support saya untuk seeking help ke Psikolog.

Sebenarnya ada beberapa cerita lagi soal mental health yang ingin saya share. Tapi saya akan berhenti disini dulu. My point is, kalau kamu ngerasa keadaan kamu lagi ga baik-baik aja, go find someone. Better seseorang yang certified atau punya kapasitas untuk mendengarkan kamu. Sekarang udah ada banyak platform yang menyediakan layanan konsultasi psikologi. If you have best friend buat tempat curhat, keep them, love them. Jangan malu untuk cari bantuan. You are never alone no matter how bad you feel.

Bye, Eksim Dishidrotik!

Hello, udah lama yah ga nulis lagi di blog ini. Abis ‘diberesin’ sama suami saya, akhirnya bisa balik lagi deh nulis. Hehe… Kali ini, sesuai judul saya mau cerita soal eksim dishidrotik yang sudah saya idap sejak 2019 lalu. Kalau mau tahu asal muasal ceritanya bisa dibaca disini ya. Sedangkan cara saya ‘berdamai’ dengan eksim tersebut, ceritanya ada disini.

Nah, sejak cerita terakhir yang hidup berdamai dengan eksim, saya cukup sibuk dengan kehidupan saya. Mulai dari pindah rumah, buka usaha, sampai balik lagi tinggal di tempat sekarang. Si eksim itu masih come and go di jari saya. Udah ganti-ganti sabun, pakai produk organik, sampai ke psikolog buat ngurangin stres tapi tetep aja si eksim eksis di jari. Sampai akhirnya, suami saya punya kenalan dokter THT yang punya kenalan dokter kulit yang berpraktek di daerah tebet. Sebenernya sih saya sudah ada dokter kulit (SPKK) langganan sejak dulu sama nyokap. Cuma karena waktu awal nikah pernah periksa ke beliau, dikasih obat dan salep tapi ga membaik, akhirnya saya stop ke beliau. Barulah tahun 2023 mau coba ke dokter kulit lagi. Ga ada alasan apa-apa sih.

Singkat cerita, saya datang ke Klinik Sakti Medika untuk ketemu dr. R. Amanda Sumantri, SpKK, FINSDV. setelah konsul, sama seperti dokter kulit saya dulu yang bilang karena stress dan penggunaan bahan kimia yang engga cocok buat kulit tangan saya. Akhirnya diresepkan salep oles racikan dan moisturizer yang dipakai setelah mandi. Setelah 2 minggu pemakaian salep dan moisturizer sesuai anjuran dokter, perlahan membaik kondisi kulit jari-jari saya yang eksim. Si bintil-bintil berisi air yang bikin jari saya gatel pelan-pelan mengering. Kemudian jari manis tangan kirir saya yang selama eksim warnanya menggelap (karena ada inflamasi) pelan-pelan mulai kembali ke warna kulit saya yang awal, sama dengan warna jari lain. Berapa lama proses penyembuhannya? Kurang lebih 3 bulan sampai jari-jari saya yang terkena eksim bebas dari rasa gatal dan bekas eksim.

Obatnya? Naaaahhh, saya cuma bisa share moisturizer yang dikasih dokter kulit di Klinik Sakti Medika.

Cream ini bener-bener

Ceradan Skin Barrier Repair Cream

Cream ini adalah pelembab yang selalu ada di dalam tas saya. Setiap saya habis mandi, urutannya adalah salep dokter kemudian baru pelembab ini. Pelembab ini ekstra banget ngelembab-in, makanya habis pakai langsung berasa licin tuh jari-jari. Kalo kata dokter Amanda, kulit tangan saya itu udah terkikis kelembabannya makanya gampang banget muncul si eksim itu. Makanya disarankan sama dokter Amanda, setiap tangan habis dicuci atau habis mandi, pakai pelembab ini. Untuk melapisi dan melindungi sekaligus merangsang terbentuknya ceramide secara alami di dalam tubuh. Karena di artikel saya yang berjudul berdamai dengan eksim itu, saya bilang kan saya ga suka banget pakai pelembab dan udah ga mau pakai salep dokter, tapi demi kesembuhan saya harus melakukan 2 hal tersebut. Salep dokter memang membantu pada saat gatal-gatalnya menyerang. Tapi Ceradan ini yang membantu untuk mengembalikan ceramide di badan kita buat melembabkan kulit. Dan ceramide adalah kunci mengobati eksim.

Sudah hampir setahun saya berhenti memakai salep dokter tapi tetap menggunakan Ceradan sebagai pelembab tangan saya. Kenapa ga coba pelembab lain? Sudah pernah, tapi memang tidak sedahsyat Ceradan untuk soal kelembabannya buat saya. Saya ga di endorse ataupun dibayar buat promosiin pelembab ini. Ini sih cuma buat sharing dan semoga bisa membantu teman-teman diluar sana yang masih berjuang mengobati Eksim. Mungkin bisa jadi teman-teman menemuka pelembab lain yang ternyata cocok dan bisa membantu mengobati Eksimnya, boleh banget sharing ke sini. I hope this post will help you who still battling with Eczema. Sehat-sehat yah kita semuaaaa…

NB: Saya biasa beli Ceradan Skin Barrier Cream disini Murah dan terpercaya.

Experience dan After Effects C-19

It’s really been a while. How have you been?? Saya balik lagi nulis blog lagi. Well, a lot things has happened. Tahun lalu, saya mulai belajar bahasa Korea lhoooo. Xixixixi… Tapi jangan diajak ngomong bahasa Korea dulu yah. Masih cupu sekalilaaah. Hahahahaha….

Well, kali ini saya mau sharing sesuatu yang kita udah ga asing lagi. Karena kayanya hampir sebagian besar penduduk dunia mengenal nama ini; Covid-19. Sampe saat tulisan ini ditulis, data yang saya dapat dari website WHO, sampai jam 6:15pm CEST, 12 April 2022, sudah ada 497,960,492 confirmed cases dari Covid-19 ini. Dengan kasus kematian sebesar 6,181,850 kasus di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, sudah ada 6,035,358 kasus positif dan 155.717 kasus kematian akibat Covid-19.

Kenapa saya bahas ini? Ya karena awal tahun saya dan suami saya terkonfirmasi positif virus ini. Setelah 2 tahun kami berdua membangun pertahanan melawan virus ini supaya ga terinfeksi, akhirnya awal maret lalu saya dan suami dari hasil PCR kami, positif terpapar virus Covid-19.

Jadi, biasanya ketika pertama kena covid pasti akan bertanya ‘kena darimana?’. Itu juga yang jadi pertanyaan saya dan suami. Soalnya waktu itu, saya dan suami baru aja balik ke apartemen setelah seminggu menginap di rumah mertua saya di bogor. Rumah mertua saya lumayan luas karena terkesan seperti kebon. Mirip getaway house kami sekeluargalah. Memang sih selama disana, saya selalu nemenin mama mertua saya jalan-jalan ke kota bogor. Karena letak rumah mama mertua saya agak diluar kota bogornya. Belum lagi, suami saya masih bolak balik kantor. Plus ditambah kami berdua juga masih nge-gym di gym favorit kami di daerah jakarta.

Kalo ditanya apa symptoms yang kami berdua rasain, masing-masing beda sih. Tapi awal symptom nya adalah batuk. Suami saya duluan yang batuk-batuk baru kemudian saya. Kami berdua pikir cuma batuk biasa karena kehujanan (Bogor hujan mulu kan). Tapi waktu itu kami pun juga langsung pake masker buat menjaga kesehatan mama mertua saya. Setelah beberapa hari minum obat batuk dan antibiotik dan kembali ke apartemen kami, saya dan suami masih berusaha pulih dari batuk yang ditambah flu.

Awal kecurigaan saya waktu itu adalah ketika saya lagi minum yakult siang hari. Rasa yakult yang khas itu, terasa agak ‘aneh’ waktu itu. saya pikir waktu itu karena Yakult nya udah lewat expiration date. Tapi ternyata engga. Disitu udah mulai was was, karena indera perasa dan penciuman adalah indikasi dari virus ini. Saya ambil sekitar 1/4 sdt gula buat dicobain. Dan ternyata rasanya ga terlalu manis. >,< Saya sampe cobain 2 sdt lagi untuk mastiin. Dan rasanya tetap sama. Lalu saya coba minum teh pucuk yang kebetulan ada di dalam kulkas saya waktu itu. Dan tetap rasa di lidah saya tetap ga ‘kuat’ menurut saya. Jadi, kaya masih ada rasa tapi tidak seperti rasa aslinya. Rasa manis gula kaya rasa teh manis yang gulanya dikit banget. Bener-bener menurun dari rasa aslinya. Masa iya Yakult yang saya minum rasanya lebih ke rasa pahit dibanding rasa manis. Hahhahaha….

Akhirnya besok pagi saya dan suami langsung memutuskan buat tes PCR. Pilihan kami langsung ke PCR untuk memastikan dibandingkan cuma Antigen aja. Tes jam 8.30 pagi, hasilnya baru keluar jam 7 malam. Saya dinyatakan positif dengan CT value 25,50. dan suami saya di CT Value 24,82. Dimana kami berpotensi menularkan yang cukup besar. Ga kaget sih dan kami juga ngerasa cukup siap kalau kena. Alhamdulillah kami cuma tinggal berdua di apartemen. Gimana dengan mertua saya? Alhamdulillah beliau sehat terus sampai sekarang.

Setelah itu, saya dan suami menjalani karantina selama kurang lebih 10 hari. Memang kami berdua ga tau varian mana yang kami alami. Tapi karena cuma saya yang mengalami anosmia dan kehilangan indera perasa (suami saya tidak), saya menduga saya kena varian deltacron. Karena omicron sendiri setau saya tidak ada anosmia. Dan kebetulan pula varian yang sedang tinggi saat itu adalah omicron. Dan dari riset yang saya lakukan, karena omicron cukup rendah resikonya dan inkubasinya pun tidak lama, 10 hari adalah waktu maksimal untuk karantina kami berdua. Dan selama 10 hari itu pula makanan kami berdua hanya dari Gofood, ShopeeFood dan TravelokaFood untuk meminimalkan interaksi kami dari dunia luar. Halah, hahahaha….

Setelah 10 hari, kami berdua dinyatakan negatif. Saya dan suami saya kembali beraktivitas seperti biasa. Dan disinilah after effects yang mulai kami rasakan. Suami saya yang punya asma akut, masih sering merasa sesak nafas sedikit setelah beraktivitas. Ventolin, obat asma andalannya tidak pernah lepas dari jangkauannya. Selain itu efek lain yang dirasakan suami saya adalah Brain Fog.

Apa itu Brain Fog? Mengutip dari RSMM Bogor, Brain Fog atau kabut otak adalah kondisi dimana seseorang merasa sulit untuk berkonsentrasi dan tidak bisa fokus ketika memikirkan suatu hal.

Menurut Website tersebut juga, Dokter Spesialis Syaraf Dr .dr. Yuda Turana, Sp.S, sebuah penelitian pada 2006 telah menunjukkan bahwa pusat memori otak (Hippocamus) sangat rentan terhadap inflamasi dan peradangan.

Studi lain yang diterbitkan dalam Cancer Cell menemukan terjadinya peningkatan pada kadar sitokin inflamasi di dalam cairan yang berfungsi untuk mengelilingi otak dalam waktu beberapa minggu setelah infeksi seseorang terinfeksi virus corona. Sitokin ini adalah sejenis molekul yang dibuat oleh sistem imunitas yang berperan untuk mendorong peradangan. Akibat terjadinya peradangan pada otak, kemampuan neuron dalam berkomunikasi pun akan mengalami hambatan. Para peneliti menduga bahwa kondisi ini bisa menjadi salah satu faktor yang berperan dalam munculnya brain fog. Bahkan, para peneliti pun telah melakukan identifikasi terhadap perubahan yang pada mikrostruktur di bagian hippocampus dan bagian lain dari otak setelah paparan virus corona. 

Saya sendiri baru kemudian merasakan Brain Fog ini. Dimana suka tiba-tiba lupa apa yang ingin diucapkan saat sedang membicarakan sesuatu. Terlebih ketika saat saya mau mengatakan sesuatu, otak saya sudah tahu kata tersebut tapi mulut kesulitan untu mengatakannya. Sampai kadang suka kesal sendiri karena kesulitan banget untuk mengucapkan sesuatu. Dan ternyata ga cuma saya dan suami yang juga mengalami Brain Fog ini. Salah satu sahabat saya yang sudah lebih dulu pernah terpapar virus covid tahun lalu, juga mengalami Brain Fog ini. Kalo ditanya, ‘apakah mengganggu?’ Jelas! Ketika kita pengen ngomong sesuatu tapi otak kita kesulitan mengurai dan sampai mulut kita pun juga ikutan susah mengatakan.

Selain Brain Fog, efek lain yang saya rasakan pasca covid-19 adalah mudah pusing. Kalau mudah lelah sih ga terlalu. Mudah pusing ini comes and go waktu awal-awal saya sembuh, Waktu saya bangundari kursi, atau sekedar berjalan dekat. Kepala rasanya seperti berputar. Hal ini sempet saya bicarakan dengan sahabat saya. Dan memang ada kemungkinan juga karena si covid ini kan menyerang paru-paru. There’s a small chance it scarred my lungs. Karena dari berita dan penelitian yang ada, konon paru-paru mantan pasien covid memang tidak sebaik seperti sebelum kena virus itu. Tapi apa saya perlu memeriksakan keadaan saya ke medis? Not for now. Selama saya masih merasa bisa coping all the after effects, i guess i’ll be fine.

So, what’s the moral of the story? Don’t get Covid. For sure. Kalau anda berpikir, and akan baik-baik saja dan bisa bertahan melawan virus ini, think again, mate. Baca lagi dan riset lagi apa yang bisa dilakukan virus ini. Kalau bisa bertahan dari virus ini, from the outside, you may look fine. But inside, not so sure. But, your smart body will warned you if the virus has infected some of your body inside parts. So, be sure untuk lebih peka merasakan apa yang tubuh kita coba infokan.

But before that, tetap makan makanan sehat, gaya hidup sehat, konsumsi vitamin dan istirahat yang cukup akan membantu kita semua menjaga tubuh kita tetap sehat menghadapi keadaan sekarang. Karena kalau ditanya apakah kegiatan suami saya di kantor dan our gym session yang menyebabkan kami kena covid? I don’t know. Virus itu bisa datang dari mana saja, all you have to do is be prepared. And never let your guard down. Because honestly, we still wear double mask even after we survived form covid. Nothing changed. We got covid, but we still guard our health. SO, stay healthy everyone!

Hidup (berdamai) dengan Eksim

Punya eksim itu yah ‘agak’ ribet. Sebenernya sih eksim di tangan saya ga parah2 banget tingkat keparahannya dibanding mereka diluar sana yang mungkin lebih luas paparan eksim di badannya. Kalo coba googling foto-foto eksim (eczema), orang-orang diluar sana mungkin bisa sampe merah2 dan luar biasa kering sampe ke muka atau sebagian besar badannya. 

Well, sebelum baca postingan ini, saran saya baca tulisan saya tentang eksim yang saya derita di sini . dan Kalau kalian masih belum tahu jenis eksim mana yang kalian punya, bisa dibaca disini. Perkara eksim yang ga seberapa di badan say (yg berawal dari cuma 1 jari manis tangan kiri, sekarang Alhamdulillah cuma nyebar sampe ke 3 jari tangan kiri) mulai bikin pusing karena bukannya membaik malah memburuk terutama karena pandemi.

Dan karena kesel ga ilang-ilang (atau paling ga makin jarang frekuensi kambuhnya) si eksim ini malah muncul mulu padahal saya ga ngerasa stres. Dimana saya masih belum terima kalo dibilang sama dokter penyebabnya karena stres (while saya ga merasa stres-stres banget). 

Akhirnya daripada pusing nyari sumber ke-stres-an saya, akhirnya saya coba untuk ganti semua sabun yang saya pake di apartemen. Ga cuma sabun sih, kandungan skincare pun juga. Apapun kandungan yang memicu si eksim, I threw it away!

Akhirnya hasil googling dan baca sumber-sumber yg cukup bisa dipercaya (thank you national eczema association) banyak kandungan kimia di produk yang selama ini saya pake ternyata memicu si eksim. Pewangi, pelembut, alkohol, pewarna, retinol adalah beberapa bahan kimia yang terkandung di dalam produk-produk keseharian saya yang bisa memicu si eksim ini. Dari situ dimulailah pergantian semua sabun&skincare saya. Ganti sabun komersil ke sabun yang skin friendly. 

Coconut Oil Soap
Castille Soap

Coconut oil soap & Castile soap adalah 2 sabun yang kandungan alaminya aman buat rata-rata people with eczema. Dan 2 bahan ini ternyata sangat multifungsi. Dari botol-botol diatas, saya pakai coconut oil soap buat base pembersih lantai. Castille soap buat sabun cuci tangan dan sabun mandi. Dari namanya, coconut oil soap adalah sabun yang berbahan dasar kelapa. sedangkan Castille Soap adalah sabun yag berbahan dasar Olive oil (Untuk sejarahnya, saya persilakan googling yah). Dan karena berbahan dasar Olive oil, si castille soap ini, sangat melembabkan. Dan kalo dibaca-baca lagi beneran multifungsi buat badan. Produk castile soap dr Dr. Bronner’s bisa dipakai untuk muka dan badan. 

Untuk nyuci baju, saya masih pakai detergen biasa (tapi udah ga pake pewangi lagi) krn pertimbangan ga terlalu sering cuci pakaian di apartemen. Sedangkan untuk cuci piring, saya pun masih tetap setia sama sabun cuci piring berwarna hijau yang kemampuan menghilangkan minyak dan lemak ga ada tandingannya. Cuma, saya cuci piring pakai sarung tangan sebagai cara untuk tidak terkena sabun. Hehehehe…

Babyganics Hand Sanitizer

Nah, yang paling saya curigai sebagai pemicu eksim adalah hand sanitizer. Meskipun saya udah coba buat sendiri hand sanitizer dengan campuran alkohol dan Aloe Vera, seperti yang disarankan dokter-dokter diluar sana, ternyata alkohol itu tetap jadi musuh eksim karena efek yang bikin kulit kering setelah dipakai. Jadilah saya harus puter otak cari hand sanitizer tanpa alkohol. Dan ketemulah Babyganics hand sanitizer yg kandungannya memang no alcohol yg aman buat kulit bayi tapi bisa mematikan kuman 99%. Dan kandungan yag dipakai sebagai pengganti alkohol adalah benzalkonium chloride. Salah satu senyawa yang biasa digunakan untuk penyemprotan yang biasa dilakukan pemprov. Walaupun ada pro dan kontra mengenai benzalkonium chloride yang dianggap kurang efektif karena kandungan alkoholnya konon kurang dari 70% sedangkan untuk Covid , kita semua tahu dibutuhkan lebih dari 70% alkohol untuk mematikan virus dan bakteri (Baca disini). Tapi, sebagai seseorang yang lagi menghindari alkohol, mau ga mau memang si benzalkonium chloride ini bisa menjadi pertimbangan.

Kenapa hand sanitizer ini penting banget? Ya karena di masa pandemi ini si hand sanitizer inilah yang lebih sering dipakai untuk keadaan darurat dimana ga ada air untuk cuci tangan. Dan saya kayanya punya persediaan lebih dari 5 botol hand sanitizer yg ditaruh di mobil dan tas, plus untuk disinfeksi meja & kursi ketika lagi keluar rumah. Dan tingkat keseringan dipake nya bisa dibilang sering banget. Tiap habis bayar parkir, tiap abis pegang uang, tiap abis buka/tutup dompet, ambil uang di atm, habis pegang hp atau apapun yg mengharuskan saya menyentuh barang/benda. Kebayang kan gimana ga kambuh eksim saya dengan seringnya paparan alkohol di tangan saya. FYI, National Eczema Association menyarankan utk mencuci tangan dengan air sebisa mungkin drpd menggunakan hand sanitizer. That’s why, kalo kemana pun dan lihat ada wastafel, nah cuci deh tangan disitu daripada pakai hand sanitizer.

Setelah soal persabunan, saya pun juga dapat informasi soal bagaimana menghadapi eksim yg kambuh, memang sampai sekarang pun saya masih pakai cream dari dokter untuk eksim saya yang memang ampuh banget ngobatin eksim. Tapi, karena saya ga tau kandungan di dalam cream tersebut (dan konon yang saya baca ada kandungan steroid untuk mengobati eksim), saya mulai pertimbangkan untuk mencegah si eksim kambuh. Gimana caranya? Ya dengan menjaga kelembaban tubuh atau bagian yang eksim, dalam hal ini jari manis kiri saya. 

Repairing Balm

Saya sendiri bukan orang yang suka menggunakan moisturizer di badan. Alasannya ,ya karena efek setelah pakai moisturizer itu badan saya jadi lengket dan basah kaya orang keringatan terutama di bagian lipatan-lipatan tubuh kaya di siku atau belakang lutut. Dan saya pun sudah coba beberapa krim tangan buat menjaga kelembaban jari saya yang kena eksim. Dan dari hasil penelusuran saya di website National Eczema Association, ternyata ada beberapa jenis pelembab yang beredar di pasaran. Dan pelembab yang disarankan buat eksim adalah yang berbentuk Ointmen (salep)t atau Balm (seperti balsem). Dikarenakan salep/balm ini mengandung lebih banyak minyak dan lebih bisa mengunci kelembaban di kulit dibandingkan lotion atau cream. Dan dari situlah jadi acuan saya untuk cari pelembab kulit. Dan percaya deh, agak jarang di pasaran produk yang menjuL pelembab berbentuk salep ini. The least i can find adalah Vaseline Repairing Jelly yang sebenernya lebih ke Skin Barrier Repairing Cream yang fungsinya mengobati kulit yang sudah terlanjur cracking ketika eksim mulai kambuh bukan mencegah. But that will do for now selagi saya masih cari moisturizer yang cocok. Si vaseline ini yang selalu saya oles kalo saya abis pake hand sanitizer sebelum saya ganti ke Babyganics supaya tangan saya ga kering-kering banget.

My life journey living with eczema belum lama sebenernya. Belum ada 5 tahun si eczema ini muncul di jari saya. Tapi, baru skerang saya mulai sadar betapa selama ini saya kurang memperhatikan kesehatan kulit saya sendiri. However, this eczema membuat saya to love myself more. Dengan lebih selektif lagi memilih kandungan kimia apa yang akan saya kasih ke badan saya. Saya bersyukur karena eksim saya pun ga parah banget. Walaupun sama keselnya dengan penderita eksim lain kalo sudah mulai kambuh. Coba aja dipikir lagi gimana bisa saya yang suka wangi-wangian di sekitar saya, sekarang harus menghindari pakai produk yang mengandung fragrance di kulit saya, dan terpaksa menggantinya dengan essential oil kalo mau wangi. Tapi tenang, ga seekstrim itu kok si eksim selama kita masih bisa handle dia dengan tahu apa penyebabnya supaya ga muncul atau kambuh. 

Oh ya, tulisan ini saya buat untuk people with eczema diluar sana yang mungkin masih berjuang menghadapi eksim di tubuhnya. Eksim setiap orang berbeda-beda pemicunya, jadi harus dikenali supaya bisa dihindari. Jangan pasrah, toh diluar sana juga banyak yang sama-sama punya eksim dan tetap bisa hidup normal. Sama seperti saya, kita terus belajar memahami eksim ini dan lebih kenal supaya penyakit yang konon susah sembuh tapi bisa diminimalisir kemunculannya, bisa berkurang bahkan ga kambuh-kambuh lagi. Amin. Fighting!

Recipe Sharing: Pain Perdu or French Toast

Hai! Hello! We meet again! I’m back with a new recipe sharing. Dan resep kali ini yang akan saya share adalah menu sarapan. Nama menunya adalah French Toast atau dalam bahasa perancisnya bernama Pain Perdu.

Menu ini sangat dikenal di seluruh dunia. Walaupun ada nama French di dalamnya, tapi dalam sejarahnya, menu ini sudah dikenal sejak abad ke-5 sebelum masehi di kerajaan Roma. Menurut Apicius, koleksi resep dari awal abad ke-5 M, hidangan itu ada sebagai aliter dulcia (“hidangan manis lain”). Bangsa Romawi akan mencelupkan roti mereka ke dalam campuran susu, menggorengnya dalam minyak dan mentega dan menikmatinya sebagai hidangan manis yang menghangatkan. Penambahan telur datang jauh kemudian. Menggunakan roti panggang sebagai pilihan sarapan gurih juga banyak dikembangkan kemudian.  

more “Recipe Sharing: Pain Perdu or French Toast”