Take care of Mental Health.

Hello, i’m back with new topic. Btw, how you doin’ lately? I hope you well cause i do. Walaupun sedikit flu dan batuk karena pergantian musim, but i’m good.

Pernah ga ketika lagi nongkrong sama temen atau keluarga dekat terus becandaan yang ke topik yang sedikit sensitif atau personal, kemudian ada 1 orang yang merasa tersinggung sampai bikin keadaan jadi awkward? Kemudian ada yang nyeletuk, ‘Yah elah, gitu aja baper’. Atau keadaan lain, saat kita lagi curhat sama sahabat soal kehidupan kita yang lagi down terus sahabat kita ngejawab ‘Lo masih mending, lah gw bla bla bla…” dengan bahasa lain jadi adu nasib. Lalu juga pas kita lagi curhat sama sodara soal kekesalan kita ke orang lain, terus dibilang “Ga boleh gitu, kita ga boleh bales jahat lagi. Mesti doain aja, bla bla bla…”

Read more: Take care of Mental Health.

Saya yakin pasti sebagian besar kita pernah berada diposisi tersebut. Apa yang dirasain? Well, kalo saya sih feels rejected. To be honest, saya ga tau istilah atau sebutannya karena saya bukan psikolog atau psikiater dan ga punya juga background pendidikan kejiwaan. But ada yang bilang kalau itu adalah salah satu bentuk Toxic Positivity. Tapi bukan itu yang mau saya bahas disini. Tahun 2020 adalah tahun yang berat untuk semua manusia di muka bumi. Kita dihantam sama Covid 19. We knew what happened then. Dan tahun tersebut adalah tahun dimana saya menyadari soal kesehatan mental. Momen yang melatarbelakangi adalah karena saya harus berhadapan dan setiap hari hidup berdampingan dengan orang-orang yang rupanya punya dampak besar pada kesehatan mental saya.

Bagaimana tidak berdampak, saya harus berulang kali mendengarkan cerita seorang kerabat saya yang hidupnya lagi berantakan. Berulang-ulang, berkali-kali. Cerita yang sama, angle yang sama. Yang menggambarkan betapa malang hidupnya dan ia adalah orang paling sial di muka bumi ini. Belum lagi saya harus berhadapan dengan kerabat lain dengan karakter yang dominan dan demanding. As a people pleaser, awalnya saya senang memberikan kesan yang baik ke orang lain. Tetapi makin lama kok makin demanding yang bikin saya merasa suffocated dan lelah menghadapi orang tersebut. Kenapa, karena saya sulit sekali bilang ‘tidak’ ke orang yang lebih tua. That’s what makes me feel miserable. And it’s quite exhauting memang menghadapi kedua orang ini buat saya. Sampai akhirnya saya cerita ke suami saya dan dia bilang, ‘mungkin karena itu juga kamu jadi sering uring-uringan’.

The moment i realized that i needed help is the moment i text my best friend and ask her, “Gw butuh psikolog, lo ada kenalan ga?” Luckily, adik dari sahabat saya adalah seorang Psikolog. Dari dia, saya mendapatkan akses untuk ke psikolog tanpa harus keluar rumah, Karena pada saat itu memang angka Covid sedang tinggi. Akhirnya, saya dikenalkan ke seorang Psikolog yang bersedia untuk melakukan konseling dan kami bicara melalui zoom saat itu. Banyak hal yang saya dapatkan setelah sesi konseling tersebut. Ga cuma ngeluarin ‘sampah’ aja, tapi juga memberikan solusi dari apa yang saya rasakan saat itu. And i feel relieved.

Apakah masalah selesai? Absolutely not. Karena kan saya masih terus berhadapan dengan orang-orang ‘toxic’ tersebut. Kenapa saya bilang toxic? Well, karena basically they polluted my mind. Just being with them aja udah lumayan melelahkan secara mental. Ya karena yang mereka keluarkan adalah ‘sampah’ mereka, sedangkan saya dulu ga tau bagaimana menghandle ‘sampah-sampah’ tersebut. It’s kind of rooting and rotted in me emotionally. Itulah yang membuat saya lebih cepat merasa lelah secara fisik, ga cuma mental. Because our mind plays a big part to our body. That’s why pada tahun 2022 lalu saya kembali berkonsultasi secara online dengan psikolog untuk ‘membersihkan sampah’ saya.

Seiring berjalan waktu, saya merasa semakin baik untuk mengelola emosi saya. Not just because i’m getting old so i get wiser. Tapi karena prinsip yang diajarkan Psikolog saya, ‘Just control what you can control.’ Itu adalah kunci dari kehidupan saya. Memang sulit untuk tidak overthing atau worried tentang keadaan atau orang lain. It’s hard karena saya adalah tipikal orang yang suka mengontrol segala sesuatu. And i hate when i can not control something. Well duh, bukannya semua orang seperti itu? Apparently engga. Ada aja orang-orang yang let it flow. But i don’t, i like control and be in control. Guess what, itulah sumber disaster. Dan itu yang mesti dibereskan lebih dahulu dengan prinsip “control what you can control”. Whatever you can not control, don’t even try to. Dan berkali-kali saya harus mengingatkan diri saya untuk melakukan ha ini sebelum saya melakukan langkah selanjutnya. Dan itu yang mengubah hidup saya. Less worry, pasti. Tapi setidaknya, we already do our part dengan mengontrol apa yang bisa kita kontrol. Dan salah satu yang bisa kita kontrol adalah reaksi dari sebuah kejadian/keadaan. Makanya saya belajar untuk berdiam dulu sebentar sebelum memutuskan sesuatu. So, no more impulsive decision based on my actual emotion. And i am so proud of myself.

Salah satu yang dikatakan Psikolog saya adalah, kalau tidak bisa menghilangkan sumber ‘toxic’ ya dihindari aja. Kalau pun harus dihadapi, sehabis itu harus ‘dibuang sampahnya’. Caranya? Find something you love to do. For me? Music is my healer. I find peace dengerin lagu-lagu kesukaan saya. KPop, barat, indonesia, any kind of music i like to hear. It takes time, tapi it cleansed your mind. Supaya ga overthink atau khawatir setelah berinteraksi dengan sumber masalah. Thankfully, suami saya sangat pengertian dan mau mengerti kalau keadaan saya lagi ga bener. Dan dia pun fully support saya untuk seeking help ke Psikolog.

Sebenarnya ada beberapa cerita lagi soal mental health yang ingin saya share. Tapi saya akan berhenti disini dulu. My point is, kalau kamu ngerasa keadaan kamu lagi ga baik-baik aja, go find someone. Better seseorang yang certified atau punya kapasitas untuk mendengarkan kamu. Sekarang udah ada banyak platform yang menyediakan layanan konsultasi psikologi. If you have best friend buat tempat curhat, keep them, love them. Jangan malu untuk cari bantuan. You are never alone no matter how bad you feel.

Experience dan After Effects C-19

It’s really been a while. How have you been?? Saya balik lagi nulis blog lagi. Well, a lot things has happened. Tahun lalu, saya mulai belajar bahasa Korea lhoooo. Xixixixi… Tapi jangan diajak ngomong bahasa Korea dulu yah. Masih cupu sekalilaaah. Hahahahaha….

Well, kali ini saya mau sharing sesuatu yang kita udah ga asing lagi. Karena kayanya hampir sebagian besar penduduk dunia mengenal nama ini; Covid-19. Sampe saat tulisan ini ditulis, data yang saya dapat dari website WHO, sampai jam 6:15pm CEST, 12 April 2022, sudah ada 497,960,492 confirmed cases dari Covid-19 ini. Dengan kasus kematian sebesar 6,181,850 kasus di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, sudah ada 6,035,358 kasus positif dan 155.717 kasus kematian akibat Covid-19.

Kenapa saya bahas ini? Ya karena awal tahun saya dan suami saya terkonfirmasi positif virus ini. Setelah 2 tahun kami berdua membangun pertahanan melawan virus ini supaya ga terinfeksi, akhirnya awal maret lalu saya dan suami dari hasil PCR kami, positif terpapar virus Covid-19.

Jadi, biasanya ketika pertama kena covid pasti akan bertanya ‘kena darimana?’. Itu juga yang jadi pertanyaan saya dan suami. Soalnya waktu itu, saya dan suami baru aja balik ke apartemen setelah seminggu menginap di rumah mertua saya di bogor. Rumah mertua saya lumayan luas karena terkesan seperti kebon. Mirip getaway house kami sekeluargalah. Memang sih selama disana, saya selalu nemenin mama mertua saya jalan-jalan ke kota bogor. Karena letak rumah mama mertua saya agak diluar kota bogornya. Belum lagi, suami saya masih bolak balik kantor. Plus ditambah kami berdua juga masih nge-gym di gym favorit kami di daerah jakarta.

Kalo ditanya apa symptoms yang kami berdua rasain, masing-masing beda sih. Tapi awal symptom nya adalah batuk. Suami saya duluan yang batuk-batuk baru kemudian saya. Kami berdua pikir cuma batuk biasa karena kehujanan (Bogor hujan mulu kan). Tapi waktu itu kami pun juga langsung pake masker buat menjaga kesehatan mama mertua saya. Setelah beberapa hari minum obat batuk dan antibiotik dan kembali ke apartemen kami, saya dan suami masih berusaha pulih dari batuk yang ditambah flu.

Awal kecurigaan saya waktu itu adalah ketika saya lagi minum yakult siang hari. Rasa yakult yang khas itu, terasa agak ‘aneh’ waktu itu. saya pikir waktu itu karena Yakult nya udah lewat expiration date. Tapi ternyata engga. Disitu udah mulai was was, karena indera perasa dan penciuman adalah indikasi dari virus ini. Saya ambil sekitar 1/4 sdt gula buat dicobain. Dan ternyata rasanya ga terlalu manis. >,< Saya sampe cobain 2 sdt lagi untuk mastiin. Dan rasanya tetap sama. Lalu saya coba minum teh pucuk yang kebetulan ada di dalam kulkas saya waktu itu. Dan tetap rasa di lidah saya tetap ga ‘kuat’ menurut saya. Jadi, kaya masih ada rasa tapi tidak seperti rasa aslinya. Rasa manis gula kaya rasa teh manis yang gulanya dikit banget. Bener-bener menurun dari rasa aslinya. Masa iya Yakult yang saya minum rasanya lebih ke rasa pahit dibanding rasa manis. Hahhahaha….

Akhirnya besok pagi saya dan suami langsung memutuskan buat tes PCR. Pilihan kami langsung ke PCR untuk memastikan dibandingkan cuma Antigen aja. Tes jam 8.30 pagi, hasilnya baru keluar jam 7 malam. Saya dinyatakan positif dengan CT value 25,50. dan suami saya di CT Value 24,82. Dimana kami berpotensi menularkan yang cukup besar. Ga kaget sih dan kami juga ngerasa cukup siap kalau kena. Alhamdulillah kami cuma tinggal berdua di apartemen. Gimana dengan mertua saya? Alhamdulillah beliau sehat terus sampai sekarang.

Setelah itu, saya dan suami menjalani karantina selama kurang lebih 10 hari. Memang kami berdua ga tau varian mana yang kami alami. Tapi karena cuma saya yang mengalami anosmia dan kehilangan indera perasa (suami saya tidak), saya menduga saya kena varian deltacron. Karena omicron sendiri setau saya tidak ada anosmia. Dan kebetulan pula varian yang sedang tinggi saat itu adalah omicron. Dan dari riset yang saya lakukan, karena omicron cukup rendah resikonya dan inkubasinya pun tidak lama, 10 hari adalah waktu maksimal untuk karantina kami berdua. Dan selama 10 hari itu pula makanan kami berdua hanya dari Gofood, ShopeeFood dan TravelokaFood untuk meminimalkan interaksi kami dari dunia luar. Halah, hahahaha….

Setelah 10 hari, kami berdua dinyatakan negatif. Saya dan suami saya kembali beraktivitas seperti biasa. Dan disinilah after effects yang mulai kami rasakan. Suami saya yang punya asma akut, masih sering merasa sesak nafas sedikit setelah beraktivitas. Ventolin, obat asma andalannya tidak pernah lepas dari jangkauannya. Selain itu efek lain yang dirasakan suami saya adalah Brain Fog.

Apa itu Brain Fog? Mengutip dari RSMM Bogor, Brain Fog atau kabut otak adalah kondisi dimana seseorang merasa sulit untuk berkonsentrasi dan tidak bisa fokus ketika memikirkan suatu hal.

Menurut Website tersebut juga, Dokter Spesialis Syaraf Dr .dr. Yuda Turana, Sp.S, sebuah penelitian pada 2006 telah menunjukkan bahwa pusat memori otak (Hippocamus) sangat rentan terhadap inflamasi dan peradangan.

Studi lain yang diterbitkan dalam Cancer Cell menemukan terjadinya peningkatan pada kadar sitokin inflamasi di dalam cairan yang berfungsi untuk mengelilingi otak dalam waktu beberapa minggu setelah infeksi seseorang terinfeksi virus corona. Sitokin ini adalah sejenis molekul yang dibuat oleh sistem imunitas yang berperan untuk mendorong peradangan. Akibat terjadinya peradangan pada otak, kemampuan neuron dalam berkomunikasi pun akan mengalami hambatan. Para peneliti menduga bahwa kondisi ini bisa menjadi salah satu faktor yang berperan dalam munculnya brain fog. Bahkan, para peneliti pun telah melakukan identifikasi terhadap perubahan yang pada mikrostruktur di bagian hippocampus dan bagian lain dari otak setelah paparan virus corona. 

Saya sendiri baru kemudian merasakan Brain Fog ini. Dimana suka tiba-tiba lupa apa yang ingin diucapkan saat sedang membicarakan sesuatu. Terlebih ketika saat saya mau mengatakan sesuatu, otak saya sudah tahu kata tersebut tapi mulut kesulitan untu mengatakannya. Sampai kadang suka kesal sendiri karena kesulitan banget untuk mengucapkan sesuatu. Dan ternyata ga cuma saya dan suami yang juga mengalami Brain Fog ini. Salah satu sahabat saya yang sudah lebih dulu pernah terpapar virus covid tahun lalu, juga mengalami Brain Fog ini. Kalo ditanya, ‘apakah mengganggu?’ Jelas! Ketika kita pengen ngomong sesuatu tapi otak kita kesulitan mengurai dan sampai mulut kita pun juga ikutan susah mengatakan.

Selain Brain Fog, efek lain yang saya rasakan pasca covid-19 adalah mudah pusing. Kalau mudah lelah sih ga terlalu. Mudah pusing ini comes and go waktu awal-awal saya sembuh, Waktu saya bangundari kursi, atau sekedar berjalan dekat. Kepala rasanya seperti berputar. Hal ini sempet saya bicarakan dengan sahabat saya. Dan memang ada kemungkinan juga karena si covid ini kan menyerang paru-paru. There’s a small chance it scarred my lungs. Karena dari berita dan penelitian yang ada, konon paru-paru mantan pasien covid memang tidak sebaik seperti sebelum kena virus itu. Tapi apa saya perlu memeriksakan keadaan saya ke medis? Not for now. Selama saya masih merasa bisa coping all the after effects, i guess i’ll be fine.

So, what’s the moral of the story? Don’t get Covid. For sure. Kalau anda berpikir, and akan baik-baik saja dan bisa bertahan melawan virus ini, think again, mate. Baca lagi dan riset lagi apa yang bisa dilakukan virus ini. Kalau bisa bertahan dari virus ini, from the outside, you may look fine. But inside, not so sure. But, your smart body will warned you if the virus has infected some of your body inside parts. So, be sure untuk lebih peka merasakan apa yang tubuh kita coba infokan.

But before that, tetap makan makanan sehat, gaya hidup sehat, konsumsi vitamin dan istirahat yang cukup akan membantu kita semua menjaga tubuh kita tetap sehat menghadapi keadaan sekarang. Karena kalau ditanya apakah kegiatan suami saya di kantor dan our gym session yang menyebabkan kami kena covid? I don’t know. Virus itu bisa datang dari mana saja, all you have to do is be prepared. And never let your guard down. Because honestly, we still wear double mask even after we survived form covid. Nothing changed. We got covid, but we still guard our health. SO, stay healthy everyone!

Humanity Above Religion

Hi! Another Small talk we have here. Well, tulisan ini sih cuma sebuah bentuk curahan hati ngeliat apa yang terjadi di sekitar saya. Ga cuma baru-baru ini, tapi beberapa tahun belakangan ini. Honestly, Saya ga pengen ngomongin hal ini, karena lumayan sensitif. Tapi Saya akan coba untuk tidak terlalu mengaitkan dengan hal yang berhubungan dengan SARA. So, without any further a do, lets begin. 

Bukan sekali dua kali saya pernah membaca komen-komen netizen di Instagram (Platform yang lumayan sering saya kunjungi). Mulai dari mengomentari kelakuan para artis, sampai status media sosial orang awam yang ga dikenal. Percayalah, orang indonesia terutama (mungkin) warga jakarta, sedang ‘mabuk’ popularitas dan ‘mabuk’ agama. Banyak orang berlomba-lomba ingin terkenal/masuk media dengan berbagai cara. Mulai dari melanggar peraturan, menyinggung kaum minoritas sampai ‘pura-pura’ jadi halu demi mendapatkan perhatian. Udah pernah saya singgung juga kalau hal itu (menurut saya) adalah sebuah bentuk narsisme yang sekarang lagi trend. FYI, Narsistik adalah salah 1 Jenis personality disorder yang biasa disebut Narcissistic personality disorder(NPD). Jadi Saya harap kalian bisa menyimpulkan sendiri maknanya because I won’t be the one who put the label to them. Tapi disini Saya ga mau ngomongin soal penyakit kejiwaan tersebut ataupun kelakuan orang-orang tersebut meraih popularitas. Yang mau Saya omongin adalah reaksi-reaksi ‘ajaib’ para netizen di Indonesia (terutama). Bukan hal baru sebenernya ngeliat komen-komen ‘ajaib’ para netizen yang sering disebut ‘Maha Benar’ dengan segala kalimat yang diketik di kolom komentar sebuah postingan akun media sosial. 

Kalau kalian udah ngebaca tulisan saya berjudul ‘Fear of Missing Out’, Kalian pasti tahu Kalau saya sesungguhnya amaze dengan orang-orang yang menyempatkan waktu untuk menulis komen disebuah akun yang admin-nya aja ga mereka kenal. Dan yang lebih bikin saya merasa amaze dengan para netizen tersebut adalah bagaimana komentar mereka mengindikasikan mereka ‘paling tahu’ dengan keadaan dan informasi sebenarnya dari isi berita yang ada, padahal mereka tidak mencantumkan sumber atau (lagi-lagi) tidak bisa membuktikan isi komentar mereka adalah berdasarkan sebuah fakta dan data. Dan terlebih lagi, dari komentar-komentar tersebut, tidak jarang memberikan cap atau label terhadap seseorang di dalam berita tersebut.

Saya tidak mau mengatakan hal itu dilakukan oleh SEMUA netizen indonesia. Tidak. Tidak semua seperti itu. Sebagaimana layaknya kita menanggapi sebuah berita yang beredar, ada Pro dan Kontra. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Saya rasa semua orang setuju bahwa di UUD 1945 pasal 28E ayat 3, negara ini menjamin hak tiap warga negaranya untuk mengemukakan pendapat. Itu adalah salah 1 dasar dari negara demokrasi, Freedom of Speech. Tapi yang Saya rasain sekarang adalah ketika demokrasi atau kebebasan berpendapat ini sudah mulai kebablasan. 

Saya mau mengutip dari pasal 19 dari Universal Declaration of Human Rights tentang kebebasan berpendapat “Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.” (Setiap orang berhak untuk berpendapat dan berekspresi, hak ini termasuk kebebasan untuk berpendapat tanpa ada intervensi untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan ide melalui media apapun dan tetap memperhatikan batasan-batasan).

Bahkan PBB pun menyebut soal batasan-batasan yang harus diperhatikan ketika berpendapat, dan batasan-batan ini dibahas di pasal 29 ayat 2: “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.” (Dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum (setempat), semata-mata dengan tujuan untuk mengamankan pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi persyaratan moralitas yang adil, ketertiban umum. Dan kesejahteraan umum dalam masyarakat yang demokratis).

Nah sekarang saya akan mulai membahas soal ‘kebablasan’ Menurut versi saya atau pandangan saya. Sekali lagi, ini menurut opini saya. Baru-baru ini, dunia medis lagi ramai dengan virus Corona yang oleh WHO pada tanggal 31 desember pertama kali ditemukan di Wuhan, Cina. Saya ga akan bahas apa sebenarnya virus ini dan sudah berapa banyak korban yang terdeteksi terjangkit virus ini karena udah banyak banget sumber yang lebih kredibel yang bisa dicari di google. Nah balik lagi ke komen dan reaksi para Netizen soal berita-berita yang beredar. Saya sendiri ga tau ini berawal dari mana, tapi kalau dari hasil penelusuran saya yang mengutip dari situs tempo.co, pada 26 januari, ada sebuah akun Facebook (saya ga mau sebut namanya) yang menyebut bahwa wabah virus Corona di Kota Wuhan, Cina, muncul akibat perlakuan negara itu terhadap muslim Uighur. Atau bahasa lainnya AZAB. 

Saya sendiri cuma bisa geleng-geleng sambil ngelus dada ngebaca isi artikel itu. Kemudian muncul lagi sebuah tulisan reaksi dari berita azab tersebut yang kali ini ditulis oleh seorang mahasiswa muslim yang tinggal di Wuhan (Chongqing). Si Mbak ini mengaku sedih karena apa yang terjadi di wuhan disebut sebagai azab Allah. Saya sendiri pun ga jauh beda dengan si mbak, miris ngebacanya. Kenapa segala sesuatu harus dikaitkan dengan agama ya? Lagipula apakah tidak diajarkan di agama untuk bersimpati atau berempati kepada orang-orang yang terkena musibah? Apakah pernah terpikir sebelum mengeluarkan kalimat tersebut, bahwa apa yang dikatakan akan membuat orang lain merasa tersakiti? Dan terlebih lagi, mengapa merasa apa yang dikatakan itu adalah sebuah kebenaran (merasa diri paling benar) daripada mencari tahu fakta dibalik kalimat tersebut? 

Sebenarnya yang membuat miris untuk saya adalah bagaimana seseorang menyikapi sebuah berita dari 1 sisi pandang saja yaitu sisi pandang dirinya sendiri. Apakah netizen yang mengutuk negara cina atas kejadian di Uighur hanya mau melihat dari sisi agama saja? Bagaimana dengan dari sisi politik, misalnya saja konflik cina dan Amerika. Jangan lupakan juga bagaimana sikap pemerintah kita terhadap konflik tersebut yang menganggap kalau kejadian tersebut adalah konflik intern negara cina yang berarti ga bisa kita ikut campur. Menurut saya sih, janganlah karena sentimen atas sebuah negara/etnis sampai membuat kita berpikir sempit. Apakah adil kalau virus Corona yang asalnya dari cina dibilang Azab untuk Cina, sedangkan virus MERS yang awal mulanya dari negara Arab tidak dibilang azab juga? Masa iya cuma karena merasa ‘satu akar’ sampai membuat logika tertutup sih. Kasianlah orang-orang di cina sana yang ikut kena imbas berita ‘sesat’ ini. Itulah gunanya berpikir dulu sebelum berkata atau mengetik.

Ada 1 lagi yang lucu menurut saya. Ada seorang penyanyi senior yang memposting di akun instagramnya bersama dengan seorang pemimpin agama yang berlainan agama dengan penyanyi tersebut. Kemudian yang menjadi viral adalah komen seorang netizen ‘Haram tauk mba’. Syukurlah reaksi si penyanyi cukup bijak hingga menurut saya menjadi sebuah jawaban telak untuk si netizen berotak sempit tersebut. Apakah sebegitu intoleran-nya kah netizen indonesia? Balik lagi, TIDAK SEMUA. Si netizen itu hanya 1 dari beberapa netizen lainnya yang menurut saya sudah terjangkit penyakit ‘mabuk’ agama. Ga sedikit netizen yang ‘mabuk’ agama berkeliaran di dunia maya. Terutama di platform media sosial. Dua kasus diatas cuma sebagian kecil dari berita viral yang muncul di timeline atau feeds media sosial saya. Percaya deh, masih banyak komen-komen ‘ajaib’ lain yang ga kalah menakjubkan klo mau dibahas satu-satu. 

Ada netizen-netizen negatif, pasti ada juga netizen-netizen positif. Yang positif jelas adalah netizen yang meng-kontra komen ‘ajaib/jahat’ netizen negatif. Mungkin saya cuma jadi silent reader dari perselisihan mereka. Tapi dari komen-komen yang kontra itu, saya tau bahwa masih ada diluar sana orang-orang yang mengerti soal toleransi dan ‘mengingatkan’ netizen lain soal bagaimana berpendapat dengan bijak tanpa menyakiti orang lain. Istilahnya, masih ada orang waras diluar sana. Bukan berarti yang komennya ‘ajaib’ ga waras, bukan. Mungkin mereka hanya belum sadar dari ke’mabuk’annya. Doakan saja supaya mereka cepet sadar.

Terlepas dari bagaimana para netizen kita bersikap di sosial media seperti diatas tadi, saya hanya merasa miris dengan orang-orang yang mengemukakan pendapat tanpa memikirkan perasaan orang lain atau melihat keadaan yang sedang terjadi. Bukankah Rasulullah pernah bersabda ““Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” [HR Bukhari]. Bebas berpendapat sih boleh saja, tapi harus ingat tetap ada batasannya. Ga usahlah ngomong soal azab kalau bukan faktanya begitu. Ga usahlah bilang haram kalau ga paham aqidah islam. Ga usahlah melabeli seseorang tanpa mengenal pribadinya. Bukan apa-apa, makin banyak ngomong, makin banyak yang mesti dipertanggung jawabkan di akhirat nanti. Jadi mending pastiin aja setiap kata yang diucap atau diketik, berdasarkan fakta dan tidak menyakti orang lain. 

Karena saya sendiri menyetujui pemahaman yang disebut-sebut oleh Almarhum Presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur: “HUMANITY ABOVE RELIGION”.  Bukan berarti saya tidak menomorsatukan agama saya, tapi justru karena setiap agama di Indonesia sangat berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya. Dan nilai-nilai kemanusiaan itulah yang menuntun supaya saya tidak tersesat dalam mempelajari kebenaran agama. Cheers!

Fear of Missing Out

Hi! We meet again! Happy 2020! It’s feel so good to be back. 

Hari ini kayanya cuma pengen share some piece of my mind. Ada banyak hal yang lagi kepikiran belakangan ini. Actually cukup banyak yang terjadi di beberapa bulan belakangan ini. Kayanya hampir 6 bulan juga gw resign dari tempat kerja and become a full time housewife. And I actually enjoying my life now. I enjoy my solitude, my serenity. It’s not like I don’t like my old job. I loved it. Cuma, kehidupan sebagai full time housewife memberikan gw waktu lebih banyak untuk bisa ‘melihat’ sesuatu dari sisi lain. 

My life as fulltime housewife, basically kerjaan gw udah pasti ngurus hubsy dan rumah yang sekarang kita tempati berdua. Karena gw udah ga kerja, otomatis setelah hubsy berangkat kerja, gw punya banyak waktu untuk ‘me time’. Dan banyak hal yang bisa gw lakukan setelah gw ga kerja lagi, termasuk balik ‘nulis’ dan browsing internet. Setelah gw resign, bukan berarti gw jadi bisa pergi kemana-mana. Well, i do like driving around dan kebetulan tempat tinggal gw sekarang, berseberangan sama sebuah mall. Tapi pada kenyataannya, gw itu mager banget keluar rumah. Kalo ga perlu-perlu amat biasanya gw akan Lebih pilih stay at home and have my beauty sleep. Dan tentunya gw punya Lebih banyak waktu ‘berseluncur’ di social media.

Internet nyediain banyak banget informasi yang kita cari, sometimes malah internet kasih kita informasi yang sebenernya ga kita perluin banget, and it happens randomly. Di hp gw sih ada beberapa aplikasi portal berita yang kadang gw buka klo lagi nyari informasi terkini. Tp mostly yang Sering gw buka sih to be honest adalah social media. Karena aplikasi ini adalah wadah bagi semua orang untuk bersosialisasi. Salah satu yang paling sering gw buka adalah Instagram. Dan bisa jadi si instagram ini adalah aplikasi andalan gw untuk mengupdate berita. Gw Lebih sering ngebuka tab ‘search’ dibanding ‘feeds’nya hahahaha. Justru ‘search’ Adalah sumber informasi gw, terutama ketika lo follow akun-akun berita/gosip atau sekedar mencari tanpa memfollow akun tersebut, berita terkait akan muncul di halaman ‘search’ lo. Dan dari situlah info-info terbaru bisa di dapat. 

Di instagram juga gw bisa liat apa yang terjadi Dengan temen-temen gw. FYI, gw punya 2 akun instagram yang dua-duanya punya 2 fungsi berbeda. 1 akun gw pake untuk private life sendiri, dimana ga banyak yang gw follow dan gw accept friend request-nya. Hanya beberapa orang aja yang emang gw ‘ijinin’ bisa masuk ke lingkaran terdekat gw. Dan akun ke 2 adalah akun umum yang gw biasa pake buat posting foto makanan atau apapun yang ga berkaitan Dengan my private life. Walaupun terkadang ada beberapa private moment yang gw share juga di akun itu tapi biasanya i considered that as not too private. Di akun ini juga gw tetap ‘memilah’ siapa yang mau gw follow. Gw bukan tipikal orang yang suka ‘asal’ follow just because I know them. Mungkin karena gw bukan orang yang kepo banget sama hidup orang yang menurut gw ga deket-deket amat sama gw. Yeah, i might sounds like a picky person. But I do it for my own reason.

Lately, I’ve been thinking about what happened in this society dilihat dari social media, terutama Jakartan. Yep, orang-orang yang tinggal di jakarta. Bukan hal asing lagi ngeliat akun gosip atau berita yang memperlihatkan orang-orang ‘showing off’ something they do or have. Kata orang, klo lo ga suka ngeliat atau komen nyinyir itu tandanya lo ngiri karena ga mampu jadi seperti mereka. Terlepas dari benar atau engganya statement itu, don’t you feel sick ngeliat berita yang isinya orang-orang berhalusinasi atau sosok narcissist yang cuma peduli diri mereka sendiri? Belum lagi orang-orang yang ikutan komentar di postingan/berita tersebut. Gw sendiri ga suka komen di akun-akun yang ga gw kenal atau ga gw follow. Analogi gw, aneh aja klo lo tiba-tiba bersuara di suatu tempat asing yang ga lo kenal, di tengah-tengah orang-orang yang ga lo kenal pula. Makanya gw suka bingung sama para netizen yang rame-rame komen di akun seorang selebritis yang lagi jadi ‘hot news’ atau komen di akun berita/gosip terbaru. Tapi yah itu pilihan masing-masing orang sih, feel free to do it. But actually, I enjoy bacain komen para netizen itu. Mulai dari komen pedes yang menghakimi bak orang yang paling kenal sampe komen asal yang kocak jadi hiburan. Persis kaya ada rasa kenikmatan tersendiri ketika ngebacain komen di video Youtube dibanding Nonton isi videonya. Sumpah gw sama hubsy suka cekikikan sendiri ngebacain komen-komen para netizen itu.

Gw pernah denger sebuah statement yang mengatakan ‘If you controlled media, you controlled the world.’ Well, I believe yang diperlihatkan media jaman Sekarang sudah diatur sedemikian rupa untuk dilihat oleh dunia, setidaknya demikian yang dibilang si hubsy. Apa yang ga dikasih liat justru lebih besar efeknya, IMO. That’s why gw mulai kembali memilah dan mencerna ulang apa yang gw lihat dan baca. Gw cuma ga mau apa yang gw lihat dan baca di media, membentuk cara berpikir gw. Too much toxic in the media nowadays. Dan kalau bukan diri kita sendiri yang menyaring, who will? And I prefer not to be intoxicated by what social media showed me. Gw sendiri ga mau jadi hypocrite karena gw masih suka liat dan baca akun-akun Gosip yang menurut hubsy ga jelas. Hubsy beberapa kali pernah kasih tau untuk Jangan terlalu sering liat kaya gtu. Walaupun sometimes gw ngerasa perlu untuk tahu berita terkini ya dari akun-akun tersebut sih, bukan untuk apa-apa tapi buat jadi bahan obrolan aja ketika lo lagi bareng sama keluarga atau temen-temen lo. But still, sebagai seseorang yang suka bacain berita kaya gtu, gw makin sadar kalau society makin ‘parah’. Gimana engga, seseorang bisa jadi terkenal karena ‘halusinasi’ yang luar biasa dan ga merasa malu Dengan ‘kehalusinasian’nya. Ada juga seorang perempuan yang ga keberatan dimanfaatkan seorang laki-laki cuma untuk jadi ‘viral’ dan masuk tv. Geez, se-narsis itukah masyarakat kita sekarang? Sehebat itukah status ‘viral/terkenal’ sampai seseorang mau melakukan apapun demi ngedapetin status terkenal. 

Gw jadi pengen ngebuka lagi buku-buku kuliah komunikasi gw jaman dulu untuk bisa menganalisa apa yang terjadi Dengan masyarakat kita sekarang ini. Media, terutama social media sudah membuat seseorang menjadi lebih ’berani’ speak up dibalik identitas Palsu yang mereka ciptakan. Identitas yang menurut mereka Adalah sebuah bentuk kebebasan diri yang Tanpa mereka sadari Sudah kebablasan dan tidak lagi memedulikan sopan santun dan moral. Apa itu berarti masyarakat kita sudah ‘rusak’? Well, gw ga bisa menjawab pertanyaan itu karena gw tau kapasitas gw. Tapi gw sih masih percaya masih ada orang-orang diluar sana yang punya conscience atau hati nurani terlebih moral dan logika untuk bisa berpikir jernih.

Karena yang bisa gw analisa sekarang adalah masyarakat kita ini punya sebuah ‘penyakit’ yang disebut ‘Fear of Missing Out’ atau ga jadi bagian dari kekinian (Kudet/kurang update). Mungkin itulah alasan social media jadi alat yang paling penting buat manusia jaman sekarang. Tapi karena itu adalah sebuah alat, sudah seharusnya kita tahu gimana cara mengendalikannya bukan? Cheers! 

My 1st Anniversary with Porta

Taken on Portafilter 25th June 2016

It was started a year ago.

Yep! Setahun sudah saya memulai perjalanan karir di dapur komersil. kalau ditanya apa aja yang didapat? Well, its quite much. Banyak dalam arti sebenarnya sangat banyak. Memang sih, sebelum di tempat yang sekarang saya pernah juga magang sebentar di cold kitchen buat pastry. Tapi being in the hot kitchen is really different kind of world of business.

more “My 1st Anniversary with Porta”