Feel the Heat of The Kitchen

Beauty fades, but cooking is eternal. -Will Herondale- • • • • • #cookslife #platting #kitchenlife #foodblogger #foodstyling #photograph #photooftheday
Beauty fades, but cooking is eternal. -Will Herondale- •

Hi, i’m back? And yeah, let’s talk about something. Something that making me busy these days. It’s been a while since my last post. Time’s running fast, yeah? Hmmm, hampir 5  bulan yah ga update blog ini. Berarti hampir 5 bulan juga waktu saya habis bekerja di dapur.

Well, sejak awal juli lalu saya resmi menjadi bekerja di sebuah coffeeshop daerah Kelapa Gading. Awalnya saya ditawari oleh seorang teman saya yang temannya kini adalah atasan saya di kitchen tempat saya bekerja saat ini. But, so sorry. I’m not gonna talk about  the place i’m working at right now. Saya mau berbagi cerita mengenai pengalaman saya bekerja di Hot Kitchen sebagai seorang cook.

To be honest, i don’t really care about the title i will be called. Cook, sous chef, koki, tukang masak atau apalah itu. Buat saya selama pekerjaan itu melibatkan memasak, i’ll do it. It’s been a challenge for me, since i never work at Hot Kitchen. Sebelumnya saya pernah bekerja sebentar di Mandarin Hotel di Cold Kitchen/Pastry Kitchen. Dan sempet agak takut juga karena saya memang lebih terbiasa membuat kue dibanding memasak makanan. Saya pun sempat ragu karena si bunion yang akan meradang lagi kalau diajak berdiri lama seperti sebelumnya di Mandarin.

Berbekal tekad dan nekad, akhirnya saya putuskan untuk mencoba dulu. Dan Alhamdulillah sampai sekarang saya masih bisa bertahan untuk melakukan pekerjaan yang juga sudah menjadi hobi saya yaitu memasak.

It’s not easy working in kitchen, since my workmates mostly men. Yup, saya bekerja bareng 4-5 pria di dapur. Walaupun saya perempuan, saya ga mau di spesial kan dalam hal pekerjaan. Saya tetap harus melakukan mise en place sendiri, angkat dan bersihin pan yang berat, nyalain kompor, sampai nyikatin pantat pan yang hitamnya minta ampun. Dan syukurlah sekarang sudah bertambah 2 perempuan yang bekerja di kitchen bareng saya sekarang. And i feel so much grateful for my team in the kitchen. Work along with them is like riding a rollercoaster together. Well, saya ga selalu ngerasa cocok dengan team saya, tapi yang bisa saya lakukan adalah just be patient for more people who will work with me in the future. People come and go, and they’ll give you lesson.

 

“Dapur itu panas, kawan!” itu yang selalu saya bilang ke barista teman kerja saya yang kalau lagi berkunjung ke kitchen selalu bilang “panas banget sih disini!”. Yes, dapur itu panas, bahkan cold kitchen pun tetap butuh panas dari oven buat bikin kue. Karena panas adalah sumber energi para tukang masak. Saya pun mengategorikan jenis-jenis panas di dapur:

Panas Temperatur/Suhu

Udara di kitchen itu panas karena kompor yang bakal selalu nyala dari awal kitchen dibuka sampai tutupnya kitchen. Kompor itu ga boleh mati! Kalau mati? Yah kelar deh hidup lo! Haha…Thats why gas itu ga cukup cuma 1 tabung doang.

Panas Emosi

Nah, panas yang ini saya rasain kalau order lagi datengnya bejibun alias banyak. Emosinya kadang bisa ke siapa aja. Ke helper yang nyiapin bahan lama banget, ke dishwasher yang numpukin cucian piring, sampe yang paling sering kena emosi adalah para waiter atau orang Floor. Harus saya akui, saya yang sering banget ngomelin waiter ketika mereka datengin window table pass cuma untuk nanyain order yang belum keluar. Bahkan ketika mereka minta tempat sambel pun jawaban saya adalah “Punya tangan? Punya mata? Ambil sendiri!” Tapi tenaaaang, setelah order beres keluar semua, saya sama si waiter itu udah ketawa-ketawa bareng lagi. Karena dari awal saya udah wanti-wanti kalau lagi banyak order pasti bawaannya emosi, jadi jangan dimasukin ke hati. Hahaha…

Panas Tekanan/Stress

I swear, panas yang model gini yang bikin kerjaan di kitchen lebih hidup dan berwarna. Kalau orang kantoran akan stres karena kerjaan yang numpuk, sama halnya dengan di kitchen. Banyak yang bikin orang kitchen stres. Apalagi, peran saya di kitchen ga cuma masak. Sometimes i can be expeditor, platter, helper and waiter. Mostly yang saya lakukan ketika saya tidak dalam posisi memasak adalah menjadi expeditor dan platter. Tekanan jadi seorang expeditor itu salah satunya adalah ketika ngeliat printer order ngeluarin ticket order. Believe me, ketika keadaan lagi rame order, yang paling pengen saya lakuin adalah ngebanting itu mesin printer! How dare you! How dare you print another ticket?! *LOL* Tapi yah saya mesti elus dada nahan diri supaya ga ngelakuin itu walaupun dalam bayangan saya si printer udah hancur berkeping-keping karena kebencian saya sama itu printer. *giggling*

Tekanan seorang platter itu adalah ketika saya sudah mem-platting makanan dengan rapi lalu si waiter dengan seenak jidatnya angkat piring sampe garnish yang saya kasih jatuh atau bergeser dari posisinya. Kadang yang sering terjadi adalah saya yang teriakin si waiter “HOY! PELAN-PELAN ANGKAT PIRINGNYA DONG!” atau “Kan udah dibilang hati-hati, kenapa masih jatuh juga sih?!” Dengan nada yang agak tinggi dan emosi pengen lempar piring ke waiter.

Memang stres ini paling sering datang ketika order ramai, akibat dari stres tingkat tinggi ini biasanya keringetan. Kadang malah menurut saya, keringet itu keluar bukan karena suhu dapur yang emang panas, tapi karena stres dengan order yang bejibun.

Panas yang Menyakitkan

Jenis panas ini yang dampaknya ke fisik. Yah, yang namanya kesundut oven, keciprat minyak panas, keciprat air panas, kesundut pan panas sampe yang terakhir saya alami yaitu disundut jaring fryer. Yup, disundut, bukan kesundut. Temen kerja saya tanpa sadar menyenggolkan jaring fryer yang baru dia angkat dari deep fryer ke lengan kanan saya yang akhirnya meninggalkan bekas luka bakar.

Well, resiko kerja di dapur memang tinggi. Tapi saya ga pernah mau ngeluh soal betapa panasnya suhu dapur, atau betapa sakitnya kena panas. Tekanan yang tinggi pun ga jarang saya rasakan. Saya yang lebih sering di shift pagi pun mengganti julukan waktu shift itu sebagai ‘Shit Shift’. Bukan karena apa-apa, Breakfast Shift ini memang lebih busy dibanding Night Shift. Gak jarang saya menerima reservasi di jam-jam orang baru bangun pagi atau baru berangkat kerja. Belum lagi menu breakfast yang memang memakan waktu agak lama dan membutuhkan kesabaran tinggi.

Tapi dari semua kesulitan dan ujian yang saya mesti saya lewati tiap hari, buat saya tiap shift yang saya lalui itu semuanya berkesan. Akan selalu ada cerita di masing-masing shift yang saya jalani. Hampir 5 bulan saya bekerja di kitchen, saya merasakan high and low nya. Ketika awal-awal bekerja saya pun merasa kaget dengan lingkungan kerja di kitchen yang memang gak biasa. Tapi memang bisnis hospitality ini memang jam kerjanya agak ajaib. Dan prinsip yang paling tepat buat saya adalah ‘Embrace it all’.

Yes, embrace it all itu berarti jalanin dan kerjain aja apa yang harus dilakukan. Ketika order banyak, yah tetap embrace it all. Habisnya mau diapain lagi kalau order lagi dateng banyak? Masa iya saya nangis-nangis karena ngerasa gak sanggup atau overload. Embrace it all itu juga artinya ikhlas dengerin complaint dari customer atau omelan dari atasan. Karena dengan embrace it all itu yang bikin saya ngerasa lebih seru ngadepin peak hours kaya breakfast, lunch and dinner time. Tetap tenang ketika order mulai banyak adalah kuncinya. Trust me, being a cook is the best thing in my life. Because, cooking isn’t just a hobby anymore, cooking is my life. I’ll see you in the kitchen.

“If you can’t stand the heat, get out of the kitchen.” -Harry Truman-