Experience dan After Effects C-19

It’s really been a while. How have you been?? Saya balik lagi nulis blog lagi. Well, a lot things has happened. Tahun lalu, saya mulai belajar bahasa Korea lhoooo. Xixixixi… Tapi jangan diajak ngomong bahasa Korea dulu yah. Masih cupu sekalilaaah. Hahahahaha….

Well, kali ini saya mau sharing sesuatu yang kita udah ga asing lagi. Karena kayanya hampir sebagian besar penduduk dunia mengenal nama ini; Covid-19. Sampe saat tulisan ini ditulis, data yang saya dapat dari website WHO, sampai jam 6:15pm CEST, 12 April 2022, sudah ada 497,960,492 confirmed cases dari Covid-19 ini. Dengan kasus kematian sebesar 6,181,850 kasus di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, sudah ada 6,035,358 kasus positif dan 155.717 kasus kematian akibat Covid-19.

Kenapa saya bahas ini? Ya karena awal tahun saya dan suami saya terkonfirmasi positif virus ini. Setelah 2 tahun kami berdua membangun pertahanan melawan virus ini supaya ga terinfeksi, akhirnya awal maret lalu saya dan suami dari hasil PCR kami, positif terpapar virus Covid-19.

Jadi, biasanya ketika pertama kena covid pasti akan bertanya ‘kena darimana?’. Itu juga yang jadi pertanyaan saya dan suami. Soalnya waktu itu, saya dan suami baru aja balik ke apartemen setelah seminggu menginap di rumah mertua saya di bogor. Rumah mertua saya lumayan luas karena terkesan seperti kebon. Mirip getaway house kami sekeluargalah. Memang sih selama disana, saya selalu nemenin mama mertua saya jalan-jalan ke kota bogor. Karena letak rumah mama mertua saya agak diluar kota bogornya. Belum lagi, suami saya masih bolak balik kantor. Plus ditambah kami berdua juga masih nge-gym di gym favorit kami di daerah jakarta.

Kalo ditanya apa symptoms yang kami berdua rasain, masing-masing beda sih. Tapi awal symptom nya adalah batuk. Suami saya duluan yang batuk-batuk baru kemudian saya. Kami berdua pikir cuma batuk biasa karena kehujanan (Bogor hujan mulu kan). Tapi waktu itu kami pun juga langsung pake masker buat menjaga kesehatan mama mertua saya. Setelah beberapa hari minum obat batuk dan antibiotik dan kembali ke apartemen kami, saya dan suami masih berusaha pulih dari batuk yang ditambah flu.

Awal kecurigaan saya waktu itu adalah ketika saya lagi minum yakult siang hari. Rasa yakult yang khas itu, terasa agak ‘aneh’ waktu itu. saya pikir waktu itu karena Yakult nya udah lewat expiration date. Tapi ternyata engga. Disitu udah mulai was was, karena indera perasa dan penciuman adalah indikasi dari virus ini. Saya ambil sekitar 1/4 sdt gula buat dicobain. Dan ternyata rasanya ga terlalu manis. >,< Saya sampe cobain 2 sdt lagi untuk mastiin. Dan rasanya tetap sama. Lalu saya coba minum teh pucuk yang kebetulan ada di dalam kulkas saya waktu itu. Dan tetap rasa di lidah saya tetap ga ‘kuat’ menurut saya. Jadi, kaya masih ada rasa tapi tidak seperti rasa aslinya. Rasa manis gula kaya rasa teh manis yang gulanya dikit banget. Bener-bener menurun dari rasa aslinya. Masa iya Yakult yang saya minum rasanya lebih ke rasa pahit dibanding rasa manis. Hahhahaha….

Akhirnya besok pagi saya dan suami langsung memutuskan buat tes PCR. Pilihan kami langsung ke PCR untuk memastikan dibandingkan cuma Antigen aja. Tes jam 8.30 pagi, hasilnya baru keluar jam 7 malam. Saya dinyatakan positif dengan CT value 25,50. dan suami saya di CT Value 24,82. Dimana kami berpotensi menularkan yang cukup besar. Ga kaget sih dan kami juga ngerasa cukup siap kalau kena. Alhamdulillah kami cuma tinggal berdua di apartemen. Gimana dengan mertua saya? Alhamdulillah beliau sehat terus sampai sekarang.

Setelah itu, saya dan suami menjalani karantina selama kurang lebih 10 hari. Memang kami berdua ga tau varian mana yang kami alami. Tapi karena cuma saya yang mengalami anosmia dan kehilangan indera perasa (suami saya tidak), saya menduga saya kena varian deltacron. Karena omicron sendiri setau saya tidak ada anosmia. Dan kebetulan pula varian yang sedang tinggi saat itu adalah omicron. Dan dari riset yang saya lakukan, karena omicron cukup rendah resikonya dan inkubasinya pun tidak lama, 10 hari adalah waktu maksimal untuk karantina kami berdua. Dan selama 10 hari itu pula makanan kami berdua hanya dari Gofood, ShopeeFood dan TravelokaFood untuk meminimalkan interaksi kami dari dunia luar. Halah, hahahaha….

Setelah 10 hari, kami berdua dinyatakan negatif. Saya dan suami saya kembali beraktivitas seperti biasa. Dan disinilah after effects yang mulai kami rasakan. Suami saya yang punya asma akut, masih sering merasa sesak nafas sedikit setelah beraktivitas. Ventolin, obat asma andalannya tidak pernah lepas dari jangkauannya. Selain itu efek lain yang dirasakan suami saya adalah Brain Fog.

Apa itu Brain Fog? Mengutip dari RSMM Bogor, Brain Fog atau kabut otak adalah kondisi dimana seseorang merasa sulit untuk berkonsentrasi dan tidak bisa fokus ketika memikirkan suatu hal.

Menurut Website tersebut juga, Dokter Spesialis Syaraf Dr .dr. Yuda Turana, Sp.S, sebuah penelitian pada 2006 telah menunjukkan bahwa pusat memori otak (Hippocamus) sangat rentan terhadap inflamasi dan peradangan.

Studi lain yang diterbitkan dalam Cancer Cell menemukan terjadinya peningkatan pada kadar sitokin inflamasi di dalam cairan yang berfungsi untuk mengelilingi otak dalam waktu beberapa minggu setelah infeksi seseorang terinfeksi virus corona. Sitokin ini adalah sejenis molekul yang dibuat oleh sistem imunitas yang berperan untuk mendorong peradangan. Akibat terjadinya peradangan pada otak, kemampuan neuron dalam berkomunikasi pun akan mengalami hambatan. Para peneliti menduga bahwa kondisi ini bisa menjadi salah satu faktor yang berperan dalam munculnya brain fog. Bahkan, para peneliti pun telah melakukan identifikasi terhadap perubahan yang pada mikrostruktur di bagian hippocampus dan bagian lain dari otak setelah paparan virus corona. 

Saya sendiri baru kemudian merasakan Brain Fog ini. Dimana suka tiba-tiba lupa apa yang ingin diucapkan saat sedang membicarakan sesuatu. Terlebih ketika saat saya mau mengatakan sesuatu, otak saya sudah tahu kata tersebut tapi mulut kesulitan untu mengatakannya. Sampai kadang suka kesal sendiri karena kesulitan banget untuk mengucapkan sesuatu. Dan ternyata ga cuma saya dan suami yang juga mengalami Brain Fog ini. Salah satu sahabat saya yang sudah lebih dulu pernah terpapar virus covid tahun lalu, juga mengalami Brain Fog ini. Kalo ditanya, ‘apakah mengganggu?’ Jelas! Ketika kita pengen ngomong sesuatu tapi otak kita kesulitan mengurai dan sampai mulut kita pun juga ikutan susah mengatakan.

Selain Brain Fog, efek lain yang saya rasakan pasca covid-19 adalah mudah pusing. Kalau mudah lelah sih ga terlalu. Mudah pusing ini comes and go waktu awal-awal saya sembuh, Waktu saya bangundari kursi, atau sekedar berjalan dekat. Kepala rasanya seperti berputar. Hal ini sempet saya bicarakan dengan sahabat saya. Dan memang ada kemungkinan juga karena si covid ini kan menyerang paru-paru. There’s a small chance it scarred my lungs. Karena dari berita dan penelitian yang ada, konon paru-paru mantan pasien covid memang tidak sebaik seperti sebelum kena virus itu. Tapi apa saya perlu memeriksakan keadaan saya ke medis? Not for now. Selama saya masih merasa bisa coping all the after effects, i guess i’ll be fine.

So, what’s the moral of the story? Don’t get Covid. For sure. Kalau anda berpikir, and akan baik-baik saja dan bisa bertahan melawan virus ini, think again, mate. Baca lagi dan riset lagi apa yang bisa dilakukan virus ini. Kalau bisa bertahan dari virus ini, from the outside, you may look fine. But inside, not so sure. But, your smart body will warned you if the virus has infected some of your body inside parts. So, be sure untuk lebih peka merasakan apa yang tubuh kita coba infokan.

But before that, tetap makan makanan sehat, gaya hidup sehat, konsumsi vitamin dan istirahat yang cukup akan membantu kita semua menjaga tubuh kita tetap sehat menghadapi keadaan sekarang. Karena kalau ditanya apakah kegiatan suami saya di kantor dan our gym session yang menyebabkan kami kena covid? I don’t know. Virus itu bisa datang dari mana saja, all you have to do is be prepared. And never let your guard down. Because honestly, we still wear double mask even after we survived form covid. Nothing changed. We got covid, but we still guard our health. SO, stay healthy everyone!

Recipe Sharing: Pain Perdu or French Toast

Hai! Hello! We meet again! I’m back with a new recipe sharing. Dan resep kali ini yang akan saya share adalah menu sarapan. Nama menunya adalah French Toast atau dalam bahasa perancisnya bernama Pain Perdu.

Menu ini sangat dikenal di seluruh dunia. Walaupun ada nama French di dalamnya, tapi dalam sejarahnya, menu ini sudah dikenal sejak abad ke-5 sebelum masehi di kerajaan Roma. Menurut Apicius, koleksi resep dari awal abad ke-5 M, hidangan itu ada sebagai aliter dulcia (“hidangan manis lain”). Bangsa Romawi akan mencelupkan roti mereka ke dalam campuran susu, menggorengnya dalam minyak dan mentega dan menikmatinya sebagai hidangan manis yang menghangatkan. Penambahan telur datang jauh kemudian. Menggunakan roti panggang sebagai pilihan sarapan gurih juga banyak dikembangkan kemudian.  

more “Recipe Sharing: Pain Perdu or French Toast”

Recipe Sharing: Classic Carbonara

Hi! I’m back with a new recipe sharing. Kali ini, saya mau sharing resep klasik dari daerah mediterania. Salah 1 negara yang dikenal dengan pizza dan pasta nya. Apalagi kalau bukan Italia. Dan resep yang saya sharing ini adalah Classic Carbonara. Kenapa klasik? Karena ini adalah versi asli karbonara dari negaranya langsung. Karbonara yang sekarang banyak dikenal adalah karbonara yang sudah banyak modifikasi.

more “Recipe Sharing: Classic Carbonara”

Recipe Sharing: Garlic Confit

Hi, i’m back!

Jadi, hari ini cuma pengen share salah 1 resep paling simple dan basic tapi bisa dipakai ke banyak menu. Judul resepnya Garlic Confit. 

Oke,  jadi alasan kenapa resep ini adalah resep pertama yang saya share adalah karena resep ini basic sekali di semua masakan. Sebenernya ada 2 versi di resep ini, versi untuk western foods sama versi Chinese/Asian Foods. Yang saya buat videonya adalah versi Western Foods. Untuk yang versi Chinese/Asian Foods nya mungkin saya akan share lagi nanti. Belum tahu mau dibuat kapan sih, karena kebetulan pas buat video Western Gralic Confit ini yang versi Chinese masih ada stock nya. Hehe…Tapi tinggal dikit kok, kalo habis nanti pasti bikin lagi. Karena emang Garlic Confit atau Minyak Bawang ini sangat amat berguna untuk hampir semua masakan. 

more “Recipe Sharing: Garlic Confit”

Humanity Above Religion

Hi! Another Small talk we have here. Well, tulisan ini sih cuma sebuah bentuk curahan hati ngeliat apa yang terjadi di sekitar saya. Ga cuma baru-baru ini, tapi beberapa tahun belakangan ini. Honestly, Saya ga pengen ngomongin hal ini, karena lumayan sensitif. Tapi Saya akan coba untuk tidak terlalu mengaitkan dengan hal yang berhubungan dengan SARA. So, without any further a do, lets begin. 

Bukan sekali dua kali saya pernah membaca komen-komen netizen di Instagram (Platform yang lumayan sering saya kunjungi). Mulai dari mengomentari kelakuan para artis, sampai status media sosial orang awam yang ga dikenal. Percayalah, orang indonesia terutama (mungkin) warga jakarta, sedang ‘mabuk’ popularitas dan ‘mabuk’ agama. Banyak orang berlomba-lomba ingin terkenal/masuk media dengan berbagai cara. Mulai dari melanggar peraturan, menyinggung kaum minoritas sampai ‘pura-pura’ jadi halu demi mendapatkan perhatian. Udah pernah saya singgung juga kalau hal itu (menurut saya) adalah sebuah bentuk narsisme yang sekarang lagi trend. FYI, Narsistik adalah salah 1 Jenis personality disorder yang biasa disebut Narcissistic personality disorder(NPD). Jadi Saya harap kalian bisa menyimpulkan sendiri maknanya because I won’t be the one who put the label to them. Tapi disini Saya ga mau ngomongin soal penyakit kejiwaan tersebut ataupun kelakuan orang-orang tersebut meraih popularitas. Yang mau Saya omongin adalah reaksi-reaksi ‘ajaib’ para netizen di Indonesia (terutama). Bukan hal baru sebenernya ngeliat komen-komen ‘ajaib’ para netizen yang sering disebut ‘Maha Benar’ dengan segala kalimat yang diketik di kolom komentar sebuah postingan akun media sosial. 

Kalau kalian udah ngebaca tulisan saya berjudul ‘Fear of Missing Out’, Kalian pasti tahu Kalau saya sesungguhnya amaze dengan orang-orang yang menyempatkan waktu untuk menulis komen disebuah akun yang admin-nya aja ga mereka kenal. Dan yang lebih bikin saya merasa amaze dengan para netizen tersebut adalah bagaimana komentar mereka mengindikasikan mereka ‘paling tahu’ dengan keadaan dan informasi sebenarnya dari isi berita yang ada, padahal mereka tidak mencantumkan sumber atau (lagi-lagi) tidak bisa membuktikan isi komentar mereka adalah berdasarkan sebuah fakta dan data. Dan terlebih lagi, dari komentar-komentar tersebut, tidak jarang memberikan cap atau label terhadap seseorang di dalam berita tersebut.

Saya tidak mau mengatakan hal itu dilakukan oleh SEMUA netizen indonesia. Tidak. Tidak semua seperti itu. Sebagaimana layaknya kita menanggapi sebuah berita yang beredar, ada Pro dan Kontra. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Saya rasa semua orang setuju bahwa di UUD 1945 pasal 28E ayat 3, negara ini menjamin hak tiap warga negaranya untuk mengemukakan pendapat. Itu adalah salah 1 dasar dari negara demokrasi, Freedom of Speech. Tapi yang Saya rasain sekarang adalah ketika demokrasi atau kebebasan berpendapat ini sudah mulai kebablasan. 

Saya mau mengutip dari pasal 19 dari Universal Declaration of Human Rights tentang kebebasan berpendapat “Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.” (Setiap orang berhak untuk berpendapat dan berekspresi, hak ini termasuk kebebasan untuk berpendapat tanpa ada intervensi untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan ide melalui media apapun dan tetap memperhatikan batasan-batasan).

Bahkan PBB pun menyebut soal batasan-batasan yang harus diperhatikan ketika berpendapat, dan batasan-batan ini dibahas di pasal 29 ayat 2: “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.” (Dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum (setempat), semata-mata dengan tujuan untuk mengamankan pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi persyaratan moralitas yang adil, ketertiban umum. Dan kesejahteraan umum dalam masyarakat yang demokratis).

Nah sekarang saya akan mulai membahas soal ‘kebablasan’ Menurut versi saya atau pandangan saya. Sekali lagi, ini menurut opini saya. Baru-baru ini, dunia medis lagi ramai dengan virus Corona yang oleh WHO pada tanggal 31 desember pertama kali ditemukan di Wuhan, Cina. Saya ga akan bahas apa sebenarnya virus ini dan sudah berapa banyak korban yang terdeteksi terjangkit virus ini karena udah banyak banget sumber yang lebih kredibel yang bisa dicari di google. Nah balik lagi ke komen dan reaksi para Netizen soal berita-berita yang beredar. Saya sendiri ga tau ini berawal dari mana, tapi kalau dari hasil penelusuran saya yang mengutip dari situs tempo.co, pada 26 januari, ada sebuah akun Facebook (saya ga mau sebut namanya) yang menyebut bahwa wabah virus Corona di Kota Wuhan, Cina, muncul akibat perlakuan negara itu terhadap muslim Uighur. Atau bahasa lainnya AZAB. 

Saya sendiri cuma bisa geleng-geleng sambil ngelus dada ngebaca isi artikel itu. Kemudian muncul lagi sebuah tulisan reaksi dari berita azab tersebut yang kali ini ditulis oleh seorang mahasiswa muslim yang tinggal di Wuhan (Chongqing). Si Mbak ini mengaku sedih karena apa yang terjadi di wuhan disebut sebagai azab Allah. Saya sendiri pun ga jauh beda dengan si mbak, miris ngebacanya. Kenapa segala sesuatu harus dikaitkan dengan agama ya? Lagipula apakah tidak diajarkan di agama untuk bersimpati atau berempati kepada orang-orang yang terkena musibah? Apakah pernah terpikir sebelum mengeluarkan kalimat tersebut, bahwa apa yang dikatakan akan membuat orang lain merasa tersakiti? Dan terlebih lagi, mengapa merasa apa yang dikatakan itu adalah sebuah kebenaran (merasa diri paling benar) daripada mencari tahu fakta dibalik kalimat tersebut? 

Sebenarnya yang membuat miris untuk saya adalah bagaimana seseorang menyikapi sebuah berita dari 1 sisi pandang saja yaitu sisi pandang dirinya sendiri. Apakah netizen yang mengutuk negara cina atas kejadian di Uighur hanya mau melihat dari sisi agama saja? Bagaimana dengan dari sisi politik, misalnya saja konflik cina dan Amerika. Jangan lupakan juga bagaimana sikap pemerintah kita terhadap konflik tersebut yang menganggap kalau kejadian tersebut adalah konflik intern negara cina yang berarti ga bisa kita ikut campur. Menurut saya sih, janganlah karena sentimen atas sebuah negara/etnis sampai membuat kita berpikir sempit. Apakah adil kalau virus Corona yang asalnya dari cina dibilang Azab untuk Cina, sedangkan virus MERS yang awal mulanya dari negara Arab tidak dibilang azab juga? Masa iya cuma karena merasa ‘satu akar’ sampai membuat logika tertutup sih. Kasianlah orang-orang di cina sana yang ikut kena imbas berita ‘sesat’ ini. Itulah gunanya berpikir dulu sebelum berkata atau mengetik.

Ada 1 lagi yang lucu menurut saya. Ada seorang penyanyi senior yang memposting di akun instagramnya bersama dengan seorang pemimpin agama yang berlainan agama dengan penyanyi tersebut. Kemudian yang menjadi viral adalah komen seorang netizen ‘Haram tauk mba’. Syukurlah reaksi si penyanyi cukup bijak hingga menurut saya menjadi sebuah jawaban telak untuk si netizen berotak sempit tersebut. Apakah sebegitu intoleran-nya kah netizen indonesia? Balik lagi, TIDAK SEMUA. Si netizen itu hanya 1 dari beberapa netizen lainnya yang menurut saya sudah terjangkit penyakit ‘mabuk’ agama. Ga sedikit netizen yang ‘mabuk’ agama berkeliaran di dunia maya. Terutama di platform media sosial. Dua kasus diatas cuma sebagian kecil dari berita viral yang muncul di timeline atau feeds media sosial saya. Percaya deh, masih banyak komen-komen ‘ajaib’ lain yang ga kalah menakjubkan klo mau dibahas satu-satu. 

Ada netizen-netizen negatif, pasti ada juga netizen-netizen positif. Yang positif jelas adalah netizen yang meng-kontra komen ‘ajaib/jahat’ netizen negatif. Mungkin saya cuma jadi silent reader dari perselisihan mereka. Tapi dari komen-komen yang kontra itu, saya tau bahwa masih ada diluar sana orang-orang yang mengerti soal toleransi dan ‘mengingatkan’ netizen lain soal bagaimana berpendapat dengan bijak tanpa menyakiti orang lain. Istilahnya, masih ada orang waras diluar sana. Bukan berarti yang komennya ‘ajaib’ ga waras, bukan. Mungkin mereka hanya belum sadar dari ke’mabuk’annya. Doakan saja supaya mereka cepet sadar.

Terlepas dari bagaimana para netizen kita bersikap di sosial media seperti diatas tadi, saya hanya merasa miris dengan orang-orang yang mengemukakan pendapat tanpa memikirkan perasaan orang lain atau melihat keadaan yang sedang terjadi. Bukankah Rasulullah pernah bersabda ““Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” [HR Bukhari]. Bebas berpendapat sih boleh saja, tapi harus ingat tetap ada batasannya. Ga usahlah ngomong soal azab kalau bukan faktanya begitu. Ga usahlah bilang haram kalau ga paham aqidah islam. Ga usahlah melabeli seseorang tanpa mengenal pribadinya. Bukan apa-apa, makin banyak ngomong, makin banyak yang mesti dipertanggung jawabkan di akhirat nanti. Jadi mending pastiin aja setiap kata yang diucap atau diketik, berdasarkan fakta dan tidak menyakti orang lain. 

Karena saya sendiri menyetujui pemahaman yang disebut-sebut oleh Almarhum Presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur: “HUMANITY ABOVE RELIGION”.  Bukan berarti saya tidak menomorsatukan agama saya, tapi justru karena setiap agama di Indonesia sangat berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya. Dan nilai-nilai kemanusiaan itulah yang menuntun supaya saya tidak tersesat dalam mempelajari kebenaran agama. Cheers!