Hello, i’m back with new topic. Btw, how you doin’ lately? I hope you well cause i do. Walaupun sedikit flu dan batuk karena pergantian musim, but i’m good.
Pernah ga ketika lagi nongkrong sama temen atau keluarga dekat terus becandaan yang ke topik yang sedikit sensitif atau personal, kemudian ada 1 orang yang merasa tersinggung sampai bikin keadaan jadi awkward? Kemudian ada yang nyeletuk, ‘Yah elah, gitu aja baper’. Atau keadaan lain, saat kita lagi curhat sama sahabat soal kehidupan kita yang lagi down terus sahabat kita ngejawab ‘Lo masih mending, lah gw bla bla bla…” dengan bahasa lain jadi adu nasib. Lalu juga pas kita lagi curhat sama sodara soal kekesalan kita ke orang lain, terus dibilang “Ga boleh gitu, kita ga boleh bales jahat lagi. Mesti doain aja, bla bla bla…”
Read more: Take care of Mental Health.Saya yakin pasti sebagian besar kita pernah berada diposisi tersebut. Apa yang dirasain? Well, kalo saya sih feels rejected. To be honest, saya ga tau istilah atau sebutannya karena saya bukan psikolog atau psikiater dan ga punya juga background pendidikan kejiwaan. But ada yang bilang kalau itu adalah salah satu bentuk Toxic Positivity. Tapi bukan itu yang mau saya bahas disini. Tahun 2020 adalah tahun yang berat untuk semua manusia di muka bumi. Kita dihantam sama Covid 19. We knew what happened then. Dan tahun tersebut adalah tahun dimana saya menyadari soal kesehatan mental. Momen yang melatarbelakangi adalah karena saya harus berhadapan dan setiap hari hidup berdampingan dengan orang-orang yang rupanya punya dampak besar pada kesehatan mental saya.
Bagaimana tidak berdampak, saya harus berulang kali mendengarkan cerita seorang kerabat saya yang hidupnya lagi berantakan. Berulang-ulang, berkali-kali. Cerita yang sama, angle yang sama. Yang menggambarkan betapa malang hidupnya dan ia adalah orang paling sial di muka bumi ini. Belum lagi saya harus berhadapan dengan kerabat lain dengan karakter yang dominan dan demanding. As a people pleaser, awalnya saya senang memberikan kesan yang baik ke orang lain. Tetapi makin lama kok makin demanding yang bikin saya merasa suffocated dan lelah menghadapi orang tersebut. Kenapa, karena saya sulit sekali bilang ‘tidak’ ke orang yang lebih tua. That’s what makes me feel miserable. And it’s quite exhauting memang menghadapi kedua orang ini buat saya. Sampai akhirnya saya cerita ke suami saya dan dia bilang, ‘mungkin karena itu juga kamu jadi sering uring-uringan’.
The moment i realized that i needed help is the moment i text my best friend and ask her, “Gw butuh psikolog, lo ada kenalan ga?” Luckily, adik dari sahabat saya adalah seorang Psikolog. Dari dia, saya mendapatkan akses untuk ke psikolog tanpa harus keluar rumah, Karena pada saat itu memang angka Covid sedang tinggi. Akhirnya, saya dikenalkan ke seorang Psikolog yang bersedia untuk melakukan konseling dan kami bicara melalui zoom saat itu. Banyak hal yang saya dapatkan setelah sesi konseling tersebut. Ga cuma ngeluarin ‘sampah’ aja, tapi juga memberikan solusi dari apa yang saya rasakan saat itu. And i feel relieved.
Apakah masalah selesai? Absolutely not. Karena kan saya masih terus berhadapan dengan orang-orang ‘toxic’ tersebut. Kenapa saya bilang toxic? Well, karena basically they polluted my mind. Just being with them aja udah lumayan melelahkan secara mental. Ya karena yang mereka keluarkan adalah ‘sampah’ mereka, sedangkan saya dulu ga tau bagaimana menghandle ‘sampah-sampah’ tersebut. It’s kind of rooting and rotted in me emotionally. Itulah yang membuat saya lebih cepat merasa lelah secara fisik, ga cuma mental. Because our mind plays a big part to our body. That’s why pada tahun 2022 lalu saya kembali berkonsultasi secara online dengan psikolog untuk ‘membersihkan sampah’ saya.
Seiring berjalan waktu, saya merasa semakin baik untuk mengelola emosi saya. Not just because i’m getting old so i get wiser. Tapi karena prinsip yang diajarkan Psikolog saya, ‘Just control what you can control.’ Itu adalah kunci dari kehidupan saya. Memang sulit untuk tidak overthing atau worried tentang keadaan atau orang lain. It’s hard karena saya adalah tipikal orang yang suka mengontrol segala sesuatu. And i hate when i can not control something. Well duh, bukannya semua orang seperti itu? Apparently engga. Ada aja orang-orang yang let it flow. But i don’t, i like control and be in control. Guess what, itulah sumber disaster. Dan itu yang mesti dibereskan lebih dahulu dengan prinsip “control what you can control”. Whatever you can not control, don’t even try to. Dan berkali-kali saya harus mengingatkan diri saya untuk melakukan ha ini sebelum saya melakukan langkah selanjutnya. Dan itu yang mengubah hidup saya. Less worry, pasti. Tapi setidaknya, we already do our part dengan mengontrol apa yang bisa kita kontrol. Dan salah satu yang bisa kita kontrol adalah reaksi dari sebuah kejadian/keadaan. Makanya saya belajar untuk berdiam dulu sebentar sebelum memutuskan sesuatu. So, no more impulsive decision based on my actual emotion. And i am so proud of myself.
Salah satu yang dikatakan Psikolog saya adalah, kalau tidak bisa menghilangkan sumber ‘toxic’ ya dihindari aja. Kalau pun harus dihadapi, sehabis itu harus ‘dibuang sampahnya’. Caranya? Find something you love to do. For me? Music is my healer. I find peace dengerin lagu-lagu kesukaan saya. KPop, barat, indonesia, any kind of music i like to hear. It takes time, tapi it cleansed your mind. Supaya ga overthink atau khawatir setelah berinteraksi dengan sumber masalah. Thankfully, suami saya sangat pengertian dan mau mengerti kalau keadaan saya lagi ga bener. Dan dia pun fully support saya untuk seeking help ke Psikolog.
Sebenarnya ada beberapa cerita lagi soal mental health yang ingin saya share. Tapi saya akan berhenti disini dulu. My point is, kalau kamu ngerasa keadaan kamu lagi ga baik-baik aja, go find someone. Better seseorang yang certified atau punya kapasitas untuk mendengarkan kamu. Sekarang udah ada banyak platform yang menyediakan layanan konsultasi psikologi. If you have best friend buat tempat curhat, keep them, love them. Jangan malu untuk cari bantuan. You are never alone no matter how bad you feel.